FusilatNews – Pemerintah kembali membuat gebrakan dengan mengubah skema distribusi LPG 3 kg. Mulai 1 Februari 2025, gas melon ini tidak lagi dijual di pengecer. Keputusan ini diklaim bertujuan untuk meningkatkan ketepatan sasaran subsidi serta memastikan harga yang diterima masyarakat sesuai dengan ketetapan pemerintah. Namun, kebijakan ini juga membawa konsekuensi besar, terutama bagi pelaku usaha kecil dan masyarakat bawah yang sangat bergantung pada akses mudah terhadap LPG 3 kg.
Menata Distribusi atau Memperpanjang Masalah?
Menurut Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung, kebijakan ini bertujuan untuk menata rantai distribusi dengan mendorong pengecer naik kelas menjadi pangkalan resmi. Dengan mendaftarkan Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui sistem Online Single Submission (OSS), diharapkan distribusi menjadi lebih tertata dan harga tetap terjangkau.
Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Sejak kebijakan ini diterapkan, masyarakat mulai mengalami kesulitan mendapatkan gas melon. Sejumlah pelaku usaha mikro dan rumah tangga mengeluhkan kelangkaan LPG 3 kg di pasaran. Keberadaan pengecer selama ini sangat membantu karena akses ke pangkalan resmi sering kali terbatas, terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari pusat distribusi.
LPG 3 Kg: Dari Subsidi Minyak Tanah ke Masalah Baru
Program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg pertama kali diluncurkan pada 2007 dengan harapan mengurangi ketergantungan pada minyak tanah dan mendorong penggunaan energi yang lebih efisien. Namun, sejak awal, distribusi LPG 3 kg menghadapi tantangan besar dalam memastikan subsidi tepat sasaran. Studi DPR pada 2020 mengungkap bahwa mayoritas penerima subsidi justru berasal dari kelompok menengah ke atas, sementara hanya 30 persen dari masyarakat termiskin yang menerima manfaat sebesar 25 persen dari total subsidi.
Pemerintah telah mencoba berbagai metode untuk mengatasi ketidaktepatan sasaran ini. Salah satunya adalah penggunaan data KTP untuk pembelian LPG 3 kg yang mulai diterapkan pada 2024. Sistem ini diharapkan bisa memetakan siapa saja yang benar-benar berhak menerima subsidi, sehingga ke depannya, subsidi LPG bisa diberikan secara tertutup dan lebih akurat. Namun, sistem ini pun masih menghadapi tantangan, terutama terkait validitas data penerima manfaat dan kemudahan akses bagi masyarakat.
Dilema Harga dan Subsidi yang Membengkak
Masalah utama yang melatarbelakangi kebijakan ini adalah beban subsidi yang terus meningkat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa harga yang dibayarkan masyarakat untuk LPG 3 kg jauh di bawah harga pasar. Saat ini, masyarakat hanya membayar Rp 12.750 per tabung, sementara harga sebenarnya mencapai Rp 42.750. Akibatnya, pemerintah harus mengalokasikan subsidi sebesar Rp 30.000 per tabung, yang menyebabkan anggaran subsidi LPG 3 kg pada 2024 membengkak hingga Rp 80,2 triliun.
Dengan beban subsidi yang terus meningkat, wajar jika pemerintah mencari cara untuk mengurangi penyimpangan dan meningkatkan efisiensi distribusi. Namun, apakah penghapusan pengecer adalah solusi yang tepat?
Dampak bagi Usaha Kecil dan Ekonomi Rakyat
Bagi pelaku usaha kecil, terutama pedagang kaki lima, warung makan, dan UMKM lainnya, ketersediaan LPG 3 kg adalah faktor kunci dalam keberlangsungan bisnis mereka. Hilangnya pengecer berarti mereka harus mengeluarkan biaya dan waktu lebih banyak untuk mendapatkan gas dari pangkalan resmi, yang mungkin tidak selalu mudah diakses.
Selain itu, tidak semua pengecer mampu bertransformasi menjadi pangkalan resmi. Persyaratan administratif seperti memiliki NIB dan pendaftaran OSS bisa menjadi kendala bagi mereka yang tidak terbiasa dengan sistem digital atau memiliki modal terbatas. Akibatnya, kebijakan ini berisiko meningkatkan praktik pasar gelap, di mana LPG 3 kg dijual dengan harga jauh di atas ketetapan pemerintah.
Kesimpulan: Antara Efisiensi dan Kesejahteraan Rakyat
Kebijakan pemerintah untuk menata distribusi LPG 3 kg tentu memiliki niat baik dalam memastikan subsidi tepat sasaran dan mengurangi beban APBN. Namun, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah kebijakan ini lebih menguntungkan negara atau rakyat kecil?
Jika benar pemerintah ingin memastikan keadilan dalam distribusi subsidi, pendekatan yang lebih komprehensif harus diterapkan. Penguatan sistem verifikasi penerima subsidi, peningkatan transparansi distribusi, serta kemudahan akses bagi usaha kecil harus menjadi prioritas. Tanpa langkah-langkah tersebut, kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang yang semakin menyulitkan kelompok yang paling membutuhkan bantuan.