FusilatNews – Pada masa Orde Baru, negara secara sistematis mengedukasi rakyat melalui kampanye “4 Sehat 5 Sempurna”. Bukan sekadar slogan, program ini menjadi upaya negara membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi dalam pola makan. Iklan layanan masyarakat disiarkan di mana-mana, dan program Keluarga Berencana (KB) hadir menyusul, mengedepankan cita-cita luhur membentuk keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS). Meski lahir dari rezim yang otoriter, dua program itu setidaknya menempatkan rakyat sebagai subjek yang perlu dibimbing, dididik, dan diberdayakan dalam urusan gizi dan perencanaan keluarga.
Kini, puluhan tahun setelahnya, bangsa ini kembali berbicara soal makanan bergizi, namun dalam bingkai berbeda. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi andalan Presiden Prabowo Subianto digulirkan dengan penuh semangat. Namun belum genap program ini berjalan luas, publik sudah disuguhi berita tentang keracunan massal yang dialami ratusan siswa di berbagai daerah. Ironisnya, alih-alih membuka ruang introspeksi, Presiden justru langsung mengklaim keberhasilan: “Keberhasilan MBG sudah 99,99 persen,” katanya, sambil menyandingkan insiden keracunan dengan kejadian dalam pesta pernikahan.
Di sinilah letak masalahnya.
Perbandingan semacam itu tidak hanya meremehkan urgensi masalah, tapi juga menunjukkan pergeseran orientasi negara dalam mengelola program publik—dari edukasi ke euforia statistik. Dalam narasi Prabowo, keberhasilan dihitung dengan kalkulator, bukan dengan evaluasi substansial. Padahal, program MBG bukan sekadar urusan logistik makanan, tapi soal pembentukan perilaku, pendidikan gizi, dan kesadaran kesehatan. Sama halnya dengan “4 Sehat 5 Sempurna” dulu, yang menekankan pemahaman masyarakat, bukan semata penyediaan bahan makan.
Salah satu penjelasan Prabowo bahkan terasa banal: bahwa ada anak yang keracunan karena tak terbiasa minum susu. Narasi semacam ini justru memperkuat asumsi bahwa program ini diluncurkan tanpa asesmen budaya, kondisi kesehatan lokal, dan kesiapan sistem logistik. Jika anak-anak tidak terbiasa minum susu, maka tugas negara adalah mengedukasi, bukan memaksakan distribusi tanpa kesiapan. Sama halnya dengan cerita tentang makan pakai tangan tanpa sendok—apa artinya program nasional jika tidak memahami kultur masyarakatnya sendiri?
Lebih jauh, pendekatan kuantitatif yang menonjolkan angka keberhasilan 99,99 persen juga menutup ruang bagi evaluasi kritis. Padahal, di balik 0,01 persen yang disebut Presiden, ada ratusan anak yang perutnya mulas, mual, bahkan mungkin trauma. Di balik angka kecil itu, ada persoalan rantai distribusi, sanitasi dapur, kualitas bahan makanan, dan kapasitas tenaga kerja. Bahkan Badan Gizi Nasional (BGN) sendiri mengakui bahwa insiden ini butuh investigasi dan evaluasi menyeluruh.
Bandingkan dengan era Orde Baru, yang walaupun represif, tetap sadar bahwa program kesehatan masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan logistik atau anggaran besar. Ia membutuhkan narasi edukatif, penyadaran kolektif, dan perubahan perilaku yang berkelanjutan. Tanpa itu semua, MBG hanya akan menjadi program populis yang gaduh di awal, lalu menghilang ditelan skandal dan kegagalan sistemik.
Jika Prabowo ingin menciptakan legacy melalui MBG, maka yang ia butuhkan bukanlah pembelaan dengan angka, melainkan langkah-langkah korektif yang transparan dan edukatif. Seperti halnya program KB dan 4 Sehat 5 Sempurna yang diwariskan dengan narasi perubahan gaya hidup, bukan dengan glorifikasi pencapaian semu.
Sebagus apa pun angka statistik yang diklaim, kepercayaan publik tidak dibangun oleh kalkulasi. Ia dibentuk oleh keseriusan menangani masalah—sekecil apa pun itu—dengan rasa tanggung jawab, bukan pembelaan reaktif yang mengaburkan fakta.