Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta, Fusilatnews – “Terlalu banyak persoalan di lembaga ini,” kata Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pamolango di Jakarta, Senin (15/7/2024).
Itulah yang menjadi alasan mengapa Nawawi memilih untuk tidak mendaftarkan diri sebagai calon pimpinan (capim) KPK periode 2024-2029. Dus, hingga masa pendaftaran ditutup pada pukul 23.59 WIB, Senin (15/7/2024), hanya ada 410 orang yang mendaftarkan diri. Rinciannya, 244 orang mendaftar sebagai capim KPK, 166 orang mendaftar sebagai calon dewan pengawas (dewas) KPK.
Jumlah pendaftar ini lebih sedikit daripada periode sebelumnya (2019-2024), sehingga Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK berwacana memperpanjang masa pendaftaran. Adapun KPK menyerahkan perpanjangan masa pendaftaran ini kepada Pansel.
Mengapa jumlah pendaftar capim KPK tak sebanyak periode sebelumnya?
Pertama, seperti diungkapkan Nawawi, terlalu banyak persoalan di KPK. Nawawi pun mengaku lelah, sangat lelah, bahkan hanya nyaris lima tahun di KPK, lelahnya melebihi 32 tahun menjadi hakim.
Hal yang sama juga dirasakan Alexander Marwata yang sudah nyaris sembilan tahun menjadi Wakil Ketua KPK. Alex yang juga berlatar hakim dan hampir dua periode di KPK juga memilih untuk tidak mendaftar menjadi capim KPK 2024-2029.
Kedua, publik tidak percaya lagi kepada KPK pasca-revisi Undang-Undang (UU) KPK, dari UU No 30 Tahun 2002 menjadi UU No 19 Tahun 2019. Merosotnya kepercayaan publik terhadap KPK tercermin dari survei berbagai lembaga yang ternyata hasilnya sama.
Dengan UU yang baru tersebut, kini KPK berada di rumpun pemerintah. KPK kini juga boleh menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sehingga menjadi tidak berbeda dengan Polri dan Kejaksaan Agung.
Implikasinya, KPK mudah diintervensi pihak eksternal, terutama eksekutif dan legislatif yang memilih Pimpinan KPK.
Ihwal mudahnya KPK diintervensi pihak eksternal juga diakui Alexander Marwata saat rapat kerja dengan Komisi III DPR beberapa waktu lalu.
Ketiga, keberadaan Pansel Capim KPK tidak kredibel. Pasalnya, komposisinya didominasi unsur pemerintah. Sebut saja Yusuf Ateh, sang ketua, yang menjabat Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan sang wakil ketua, Arief Satria yang merupakan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB). Pun, sang anggota Ivan Yustiavandana yang merupakan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Akibatnya, Pansel Capim KPK pun dicurigai sebagai kepanjangan tangan Presiden Joko Widodo yang akan menentukan lolos atau tidaknya seorang capim KPK.
Menjelang lengser pada 20 Oktober nanti, Jokowi memang sangat berkepentingan dengan KPK agar saat tidak berkuasa lagi nanti tidak dikejar-kejar lembaga antirasuah itu mengingat banyak anggaran pembangunan yang bermasalah.
Orang-orang yang relatif tidak bermasalah seperti Nawawi Pamolango dan Alexander Marwata pun memilih untuk keluar dari KPK. Sebaliknya, orang-orang bermasalah seperti Nurul Ghufron dan Johanis Tanak memilih bercokol di KPK. Dua Wakil Ketua KPK itu kini mendaftar sebagai capim KPK periode 2024-2029.
Diketahui, Nurul dan Johanis tak sekali-dua dilaporkan ke Dewas KPK. Pasalnya, Nurul membantu mutasi perempuan pegawai Kementerian Pertanian, dan Johanis berinteraksi dengan pihak yang sedang beperkara dengan KPK.
Tidak hanya pimpinan, para pegawai KPK pun banyak yang bermasalah. Sebanyak 66 pegawai negeri sipil di lingkungan lembaga antirasuah itu dipecat karena terbukti memeras dan ikut serta dalam pemerasan para tahanan. Sebagian dari pegawai itu juga sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan senilai Rp6,3 miliar.
Ditambah dengan Firli Bahuri yang sudah terpental dari kursi Ketua KPK setelah ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka perkara pemerasan Syahrul Yasin Limpo, saat itu Menteri Pertanian, senilai Rp7 miliar, maka makin banyaklah terduga “bromocorah” yang bercokol di KPK.
Sebelum ini, dua Ketua KPK juga terpental dari kursi panasnya setelah ditetapkan polisi sebagai tersangka perkara yang berbeda. Yakni Antasari Azhar dan Abraham Samad.
Lili Pintauli Siregar juga terpental dari kursi empuk Wakil Ketua KPK setelah diduga menerima gratifikasi dari PT Pertamina berupa tiket dan fasilitas menginap untuk menonton MotoGP di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat beberapa waktu lalu.
Maka hanya satu kata: bubarkan! Bahkan pembubaran KPK sudah dalam titik kritis atau darurat.
Apalagi kinerja KPK sudah jeblok. Hanya kasus-kasus teri yang ditangani KPK. Kalaupun ada Operasi Tangkap Tangan (OTT), itu pun nominalnya kecil dan sekadar hiburan belaka.
Bandingkan dengan Kejagung yang menangani perkara-perkara kakap seperti korupsi proyek Base Transceiver Station (BTS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika, kasus korupsi di PT Asabri, kasus korupsi di PT Jiwasraya, kasus korupsi pengelolaan tambang timah dan sebagainya yang nilai kerugian negaranya mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah.
Ibarat lumbung padi yang sudah banyak tikusnya, bila tikusnya sulit ditangkap, maka bakar saja lumbungnya agar tikusnya sekalian terbakar. Demikian pula KPK yang sudah tidak bisa lagi diharapkan.
Berdirinya KPK dimaksudkan sebagai “triger” (pemicu) bagi lembaga lain seperti Polri dan Kejagung dalam pemberantasan korupsi. Kini ketika KPK sudah loyo di satu pihak dan Kejagung sudah berdaya di pihak lain, lalu buat apa KPK dipertahankan?
Izinkan aku bertanya!