Jakarta – Fusilatnews – Hari itu, Rabu pagi yang hangat di Jatinegara, Jakarta Timur. Di depan gerbang SDN Jati 03, Presiden Prabowo Subianto muncul bersama tamunya yang istimewa: William Henry Gates III, pendiri Microsoft dan orang yang lebih dikenal dunia sebagai filantropis global. Mereka datang meninjau program Makan Bergizi Gratis (MBG), ikon populis ala Prabowo yang kini mulai dibungkus globalitas.
Tapi hanya 15 menit. Sekadar lewat. Menyentuh piring anak-anak dan membagikan senyum pada kamera. Selesai.
Setelah itu, pentas sesungguhnya dimulai. Prabowo membuka sunroof mobil Maung RI 1, melambai-lambai bak jenderal perang yang pulang menang. Ia lempar kaus, warga berebut. Mungkin inilah bentuk baru diplomasi kerakyatan: soft power dalam bentuk kaus oblong.
Namun, esensi dari kunjungan Bill Gates agaknya tak semata soal nasi, lauk, dan segelas susu untuk bocah-bocah SD. Seperti biasa, wajah depan adalah gizi; namun lembar-lembar belakang berisi agenda yang lebih kompleks—dan lebih global: vaksin TBC.
Menurut sumber internal Kementerian Kesehatan, kunjungan Gates Foundation juga disertai proposal konkret: dukungan program eliminasi TBC di Indonesia melalui penyebaran vaksin baru hasil kerja sama beberapa lembaga riset dunia. Indonesia, yang memang salah satu penyumbang angka TBC tertinggi secara global, adalah pasar potensial.
Dan di situlah celah dibuka: kerja sama, investasi, distribusi vaksin, dan perluasan uji coba. Gates Foundation sudah lama bermain di sektor ini—menyokong WHO, mendorong vaksinasi malaria, hingga masuk ke ranah teknologi digital medis. Tentu saja, ini bukan semata soal amal, ini tentang public health capitalism—berbuat baik sambil tetap mengendalikan.
Tak ada yang salah dengan vaksin, tentu. Tapi ketika datang dengan bungkus populisme lokal dan sambutan yang terlalu meriah—sementara perundingan lisensi, hak paten, dan anggaran negara berlangsung senyap di belakang layar—di situlah publik harus curiga. Vaksin bukan cuma soal nyawa, tapi juga bisnis. Dan bisnis yang menyangkut nyawa, seringkali adalah bisnis yang paling menguntungkan.
Lalu, MBG pun jadi etalase. Anak-anak dengan senyum sumringah dan mulut penuh telur rebus jadi poster yang manis. Sementara Bill Gates, dengan dasi biru langit dan senyum tajam khas korporat, menyusup ke dalam sistem kita yang sudah lama dibiasakan menerima “bantuan” tanpa bertanya lebih jauh: siapa yang sebenarnya diuntungkan?
Di era baru ini, pembangunan bukan lagi soal membangun, tapi soal membungkus. Dan di balik bungkusan MBG, bisa jadi yang sebenarnya kita konsumsi adalah vaksin, data kesehatan, dan kedaulatan yang dijual dalam senyap.
Dan itu, seperti kata Bung Karno dulu, bukan sekadar urusan teknis. Itu urusan ideologi.