FusilatNews – Di saat negara nyaris tenggelam oleh gelombang korupsi yang masif dan sistemik, suara yang menyebut bahwa Undang-Undang Perampasan Aset Tak Berkaitan dengan Urgensi justru terdengar ganjil. Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara sekaligus politisi senior, menyatakan bahwa tidak ada urgensinya pemerintah dan DPR membahas RUU Perampasan Aset Koruptor saat ini. “Uangnya tidak akan kembali juga,” begitu kira-kira alasannya.
Pernyataan itu bagai menabur garam di luka lama. Di tengah publik yang semakin gerah dengan ketimpangan ekonomi dan melonjaknya utang negara, mereka justru menyaksikan parade kasus korupsi bernilai triliunan rupiah yang seolah tak berujung. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa praktik korupsi telah merangsek hingga ke nadi pemerintahan: dari pusat hingga daerah, dari kementerian hingga desa, dari proyek infrastruktur hingga bansos.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang tahun 2023 saja, terdapat 597 kasus korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum dengan total kerugian negara mencapai Rp 55,7 triliun. Jumlah ini belum termasuk nilai aset yang tidak berhasil dirampas atau dikembalikan ke negara karena keterbatasan instrumen hukum. Dari tahun ke tahun, ICW juga mencatat tren bahwa vonis terhadap koruptor cenderung ringan dan pengembalian aset sangat minim.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun pernah mengakui bahwa kendala terbesar dalam pemberantasan korupsi adalah lemahnya mekanisme perampasan aset. Menurut KPK, lebih dari 70 persen putusan pengadilan tidak mencantumkan pidana tambahan berupa perampasan atau pembayaran uang pengganti. Akibatnya, pelaku korupsi tetap bisa menikmati hasil kejahatannya meski telah divonis penjara.
Fuslitanews mencatat, korupsi hari ini bukan lagi sekadar perbuatan individu serakah, tapi menjadi laku kolektif yang ditopang oleh sistem politik dan birokrasi yang permisif. Nilainya bukan lagi miliaran, melainkan ratusan triliun rupiah yang menguap tanpa jejak. Ini adalah perampokan negara secara terang-terangan, dilakukan oleh mereka yang justru diberi amanah untuk menjaga dan mengelola kekayaan rakyat.
Maka wajar bila publik menagih negara untuk bertindak lebih keras: bukan hanya memenjarakan pelaku, tapi juga merampas seluruh hasil kejahatan yang mereka sembunyikan—di rumah, di rekening tersembunyi, hingga aset-aset yang dibeli atas nama pihak ketiga. Inilah inti dari RUU Perampasan Aset: menghadirkan mekanisme hukum yang memungkinkan negara menyita kekayaan haram tanpa harus menunggu vonis pidana yang panjang dan seringkali rumit. Konsep ini bukan barang baru. Banyak negara sudah menerapkannya dengan hasil signifikan.
Lalu mengapa disebut “tidak urgen”? Argumen yang dilontarkan Yusril lebih menyerupai dalih formal ketimbang respons atas realitas krisis. Sebab jika urgensi diukur dari seberapa besar kerugian negara, seberapa parah kerusakan institusi, dan seberapa dalam luka kepercayaan publik, maka RUU ini seharusnya diperlakukan seperti pemadam kebakaran: segera dan tanpa banyak cakap.
Ketidakurgenan itu justru memperlihatkan satu hal: bahwa korupsi masih dilihat sebagai kejahatan biasa, bukan darurat. Negara masih bersikap lunak terhadap para penggarong APBN, bahkan memberi karpet merah pada mereka yang bermodal politik. Kita melihat bagaimana partai politik berlomba merekrut eks narapidana korupsi sebagai caleg. Kita juga menyaksikan para tersangka atau terpidana korupsi yang tetap bisa mencalonkan diri dalam pilkada. Dalam situasi ini, ketegasan negara bukanlah kemewahan, tapi satu-satunya jalan menyelamatkan martabat republik.
RUU Perampasan Aset mungkin bukan solusi tunggal. Tapi ia adalah pondasi penting dalam membangun sistem yang tegas terhadap kejahatan luar biasa. Tanpa itu, kita hanya akan menyaksikan satu persatu harta negara digerogoti, tanpa bisa benar-benar mengambilnya kembali.
Maka, jika hari ini masih ada yang menganggap RUU ini tidak penting, mungkin bukan karena mereka tidak paham hukum. Tapi karena mereka tidak pernah benar-benar berada di pihak korban—yakni rakyat.