SBY dan Jokowi adalah Presiden RI, yang dipilih langsung oleh Rakyat, berdasarkan konstitusi yang telah diamandemen 4 kali itu. Peralihan dari system yang lama, dipilih oleh MPR, atas nama system Parlementer, ke system baru, atas nama system Presidential, yaitu rakyat memilih langsung kepada beliau-beliau itu. Catatan saya, kedua system yang diklaim tersebut itu, adalah system politik ala Indonesia, yang tak lazim terjadi di negara-negara yang menerapkan system yang sama.
Apa yang paling krusial melihat kedua performance kerja kedua Presiden itu? Adalah janji mereka kepada rakyat, apa saja yang dikumandangkannyaa, yang kemudian atas dasar itulah rakyat kebanyakan terpikat untuk memilihnya. Itulah yang kemudian, filsuf Swiss abad ke-18 Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract mengistilahkannya sebagai “kontrak social”.
Sebelum kita menguliti, apa saja kontrak social dari masing-masing presiden itu, ingin saya sisipkan penjelasan Tugas DPR dalam system Presidential. Yaitu, melegitimasi kontrak social Presiden tersebut, untuk menjadi Program Negara (Diundangkan dalam APBN), kemudian mengawal jangan sampai dihianantinya! Disitulah ranah bekerja anggota DPR, yang keberadaanya pula, sebagai wakil perorangan. Bukan wakil partai apalagi sebagai petugas partai.
Nah, dari sinilah kemudian kita mengurai, apa janji-janji kepada rakyat itu, yang pernah dikampanyekan oleh kedua Presiden itu, dan realisasinya dalam program-program kerja mereka. Sebelum lebih rinci mengurai pertumbuhan ekonomi dan utang Indonesia di kedua pemerintahan, saya ingin menyelipkan data ini, sbb : Dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), Norwegia menjadi negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia. Sementara indeks demokrasi Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir.
Pertumbuhan ekonomi di era Jokowi apaling tinggi hanya bisa menyentuh 5%. Di era SBY dibandingkan masa pemerintahannya, bisa mencapai 6% bahkan pernah hampir menyentuh 7%. Tak hanya itu Jokowi juga tak mampu mengejar pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan setinggi 7%. Dalam periode 2014-2019 pertumbuhan ekonomi era Jokowi rerata hanya tumbuh 5.03%.
Pertumbuhan Ekonomi Era SBY dan Jokowi: SBY Periode 2004-20092005: 5,6% 2006: 5,5% 2007: 6,3% 2008: 6% 2009: 4,6%. SBY Periode 2009-2014 2010: 6,2% 2011: 6,2% 2012: 6% 2013: 5,6% 2014: 5,02%
Jokowi 2014-2019 2015: 4,88% 2016: 5,02% 2017: 5,05% (proyeksi). Pemerintah meyakini bahwa kordinasi dan sinergi dengan seluruh stakeholder dalam nenerapkan stategi pemulihan eknomi, akan membuat ekonomi tumbuh dikisaran 4.0%~5.0% (yoy) di triwulan 1, 2022. Hal itu akan mendukung penmencapaian target sebesar 5.02% (yoy) di akhir 22, kata Airlangga Menko Ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi tersebut, dipengaruhi oleh factor internal dan external. SBY memang diuntungkan oleh situasi global. Tetapi strategi APBN-nya, yang berorientasi untuk meningkatkan purchasing power, adalah factor dominan untuk memicu pertumbuhan dimaksud.
Sebaliknya Jokowi, situasi pandemic dan ekonomi global, menghambat pertumbuah tersebut. Faktor lain adalah, kebijakan menggenjot infrastruktur yang menentukan pertumbuhan ekonominya, rendah.
Utang. Saat masih menjadi calon Presiden dari PDI Perjuangan tahun 2014, Jokowi mempunyai visi misi untuk mengurangi utang negara. Salah satu caranya, Jokowi ingin mengubah Indonesia sebagai negara produsen dan mengurangi konsumsi terutama dari barang impor. “Dilarikan ke produksi, Indonesia jadi negeri
produsen,” ujar Jokowi dikutip dari pemberitaan Tribunnews, 5 Juni 2014. Untuk meningkatkan produksi, Jokowi berharap produk dalam negeri bisa banyak di ekspor.
Dikutip dari laman DJPPR Kementerian Keuangan, jumlah utang pemerintah pada 2007 atau periode pertama pemerintahan Presiden SBY tercatat sebesar Rp 1.389,41 triliun. Hingga tahun 2009 atau tahun terakhir periode pertama Presiden SBY, jumlah utang pemerintah pusat tercatat sebesar Rp 1.590,66 triliun. Berikutnya masuk di periode kedua rezim Presiden SBY atau tahun 2010, utang pemerintah pusat menurut Kementerian Keuangan yakni sebesar Rp 1.676,85 triliun. Hingga tahun 2014 atau masa berakhirnya periode kedua pemerintahan SBY, jumlah utang pemerintah yakni sebesar Rp 2.608.78 triliun.
Berikut rincian utang pemerintah SBY dari tahun ke tahun: Total utang pemerintah tahun 2007: Rp 1.389.41 triliun Total utang pemerintah tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun Total utang pemerintah tahun 2009: Rp 1.590,66 triliun Total utang pemerintah tahun 2010: Rp 1.676,85 triliun Total utang pemerintah tahun 2011: Rp 1.803.49 triliun Total utang pemerintah tahun 2012: Rp 1.977,71 triliun Total utang pemerintah tahun 2013: Rp 2.375,50 triliun
Total utang pemerintah tahun 2014: Rp 2.608,78 triliun
Utang pemerintah era Jokowi Dikutip dari laman APBN KiTa Setember 2021 yang dirilis Kementerian Keuangan, utang pemerintah per Agustus 2021 tersebut naik dibandingkan sebulan sebelumnya, di mana utang per Juli 2021 sebesar Rp 6.570,17 triliun. Dengan kata lain, dalam sebulan, pemerintah Presiden Jokowi sudah menambah utang baru sebesar Rp 55,26 triliun. Selain kenaikan utang, Kementerian Keuangan juga mencatatkan kenaikan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB). Utang Pemerintah Jokowi Naik Jadi Rp 6.625 Triliun Pada Juli 2021, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat sebesar 40,51 persen. Sementara di Agustus 2021, rasionya sudah naik menjadi 40,85 persen.
Utang pemerintah tercatat memang mengalami kenaikan cukup besar sejak Presiden Jokowi menjadi orang nomor satu di Indonesia. Di penghujung 2014, total utang pemerintah yakni Rp 2.608 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 24,7 persen. Lalu pada akhir tahun 2015 atau setahun pertamanya menjabat sebagai Presiden RI, utang pemerintah di era Presiden Jokowi sudah melonjak menjadi Rp 3.089 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 27 persen. Sementara itu pada Januari 2017, utang pemerintah sudah kembali mengalami lonjakan menjadi sebesar Rp 3.549 triliun. Saat itu, rasio utang terhadap PDB yakni 28 persen.
Pada akhir 2017, utang pemerintah menembus Rp 3.938 triliun. Rasio terhadap PDB juga menanjak menjadi 29,2 persen.
Berikut rincian utang pemerintah Jokowi dari tahun ke tahun: Total utang pemerintah tahun 2014: Rp 2.608,78 triliun Total utang pemerintah tahun 2015: Rp 3.165,13 triliun Total utang pemerintah tahun 2016: Rp 3.706,52 triliun Total utang pemerintah tahun 2017: Rp 3.938,70 triliun Total utang pemerintah tahun 2018: Rp 4.418,30 triliun. Total utang pemerintah tahun 2019: Rp 4.779,28 triliun Total utang pemerintah tahun 2020: Rp 6.074,56 triliun Total utang pemerintah Agustus 2021: Rp Rp 6.625,43 triliun.
Sebagai penutup, evaluasi menyeluruh, ingin saya kutip pernyataan Mahfud MD, yang kini sebegaia Menkopolhukam. Pernyataan yang teramat jujur, dari seorang Mahfud, yang menerangkan bawa Indonesia memerlukan Strong Leader tahun 2024 nanti. Tanpa ia sadari, mungkin, bahwa alasan-alasan yang mendasarinya itu, justru potret dari keadaan saat ini, yang ia risaukan sendiri. Tapi kata lain juga, seolah-olah ia tak berdaya, untuk merajut kehidupan bangsa ini, melalui kewenangan dan kekuasaan yang sedang dipegangnya. Pedang tajam keilmuannya, tumpul untuk bisa menyabit hama ilalang ideologis dan koruptif yang sedang merambah diberbagai kehidupan.
Ada beberapa poin yang ia sampaikan, pertama soal berbagai kasus yang terjadi saat ini, diawali dengan pengeroyokan kepada Ade Armando, itu muara diatasnya ada pada persoalan Ideologi. Bahwa masalah ideologi ini, sudah sampai pada titik yang meresahkannya, karena telah terbentuk polarissasi yang tajam didalam kehidupan masyarakat. Beliau mengungkapkan lebih lanjut, bahwa hal itu secara harfiyah dapat diterangkan adalah persoalan kedudukan Agama dan Negara.
Situasi yang chaos seperti saat ini, dimana hampir setiap peristiwa, seringkali terjadi bentrok horizontal dan bahkan vertical dengan aparat, dipahami sebagai demokrasi yang sudah terganggu. Dibeberapa negara, terutama di negara-negara Amerika Latin, situasi seperti itu berakibat terjadinya Kudeta, tambah Mahfud.
Issue yang lebih serem, juga diungkapkannya, adalah soal Korupsi, yang telah terjadi dimana-mana: Eksekutif, Legislative dan bahkan Judikatif. Rupanya issue lama ini, masih tetap ada dalam catatannya, yang tetap belum beranjak, sebagai current issue aib bangsa ini.
Dari uraian diatas, Mahfud MD, sesungguhnya sedang menelanjangi apa yang sedang terjadi dalam kehidupan social dan ketata negaraan, dimana ia sedang berada didalamnya. Ini penjelasan dan tela’ahan soal aib yang shahih dan mutawatir karena perawinya adalah orang yang kredibel.
Itu semua, sebenarnya terpulang kepada sosok Pemimpin yang sedang berkuasa saat ini, yang secara telanjang, Ia tak mampu berbuat banyak, sehingga lahirlah berbagai macam problema bangsa dan kehidupan chaos politik tersebut. Tidak faham melihat esensi apa yang harus diemban. Tidak mengerti pokok dan akar masalah yang sesungguhnya, yang kemudian salah judgmen. Diperkeruh lagi oleh salah menempatkan actor-aktor pasukannya, karena mungkin desakan berbagai elemen parpol pendukungnya, sehingga setiap lagkah-langkahnya menjadi boomerang kepadanya.