Waktu pulang dari Kabupaten Bajawa, saya harus terbang dari Kabupaten Ende. Jadwal dari Bajawa, tdk ada hari itu. Pesawat Merpati, saat itu, yang datang dan berangkat dari dan ke Kabupaten-Kabupaten yang ada di NTT, jadwalnya tidak setiap hari ada. Bahkan penerbangan ke Denpasar, harus berhenti dahulu di Bima, ganti pesawat atau menurunkan/menjemput penumpang lain. Kapan kita akan berangkat ke daerah lain, dihari yang tertentu, bisa juga mencari penerbangan dari Kabupaten terdekat lainnya, Ruteng umpamanya.
Jadi dari Kabupaten Bajawa ke Ende, saya jalan darat, menyusuri pantai-pantai sepanjang jalan. Decak kagum saya, tak henti-hentinya. Melihat keindahan pantai dan bebatuan yang berserakan tak terusik disepanjang pantai-pantai tersebut. Dalam hati tercetus, satu saat ini akan menjadi daerah wisata yang bagus. Otentik dan natural. Bahasa anak sekarang sering diungkapkan dengan satu kata, yaitu “wow”. Itu artinya, yang saya fahami sebagai segala macam yang keren-keren.
Singkat cerita, saya sudah tiba di Kabupaten Ende. Siap terbang dengan pesawat kecil 6 seats Cassa 212. Khusus bagi penumpang pesawat, biasa terbentuk watak tepat waktu/on time. Jadi 2 jam sebelumnya, bahkan, saya sudah tiba di Bandara Ende, dan seperti biasa check in lalu menunggu di waiting room, yang teramat sederhana.
Cukup waktu untuk menunggu terbang, rasa penasaran ingin tahu seluk beluk di Bandara, muncul juga. Lalu saya berjalan melihat aktifitas pegawai administrasi Bandara, yang serba alakadarnya itu.
Akhirnya, saya sangat terkejut, mendengar kabar bahwa para pegawai administrative, yang ada di Bandara itu, bukan staff Bandara, tapi pegawai Travel Agent, yang menjual dan mengurus ticketing. Jadi merekalah, yang sesungguhnya penguasa Bandara itu, yang mengantur check in dan keberangkatan kami di Bandara.
Beberapa menit sebelum waktunya terbang, kami belum dipanggil juga untuk masuk menuju pesawat kecil itu. Saya juga menanyakan, jam berapa terbang, karena ticket kami dari Bima connecting ke Denpasar.
“Tunggu saja, Pak”, kata petugas itu. “Pesawatnya tidak bisa hidup”, tambahnya. Saya keringetan mendengar itu. Karena hawatir ditinggal pesawat, penerbangan lanjutan, yg dari Bima ke Denpasar. Kira-kira berapa lama? Lanjut saya. “Kira-kira 2 jam, pak”, jawabnya. “Kita mau charge dulu accu nya”, tambahnya nya. Alam mak…dalam hati saya. Sudah saya pasrah saja, dengan connecting pesawat dari Bima ke Denpasar.
Ada restoran nggak sekitar sini? tanya saya lagi. “Ada pak”, jawabnya. Mungkin terdengar juga oleh para sopir yg menyewakan jasa kenderaan di Bandara. Mereka menawari saya mengantar ke tempat yang saya ingin tuju.
Akhirnya, deal saya diantar naik motor (jaman sekarang ojeg), karena saya ingin menikmati langsung kota Ende itu. Kira-kira 5 menit saya bermotor, tiba-tiba terdengar suara di load speaker masjid memanggil manggil nama saya, untuk segera kembali ke Bandara, karena pesawat akan segera berangkat.
Hah, betul juga. Begitu saya sampai di Bandara H. Hasan Aroeboesman. Kab. Ende, Mesin Pesawat sudah mendesing, dan saya langsung diantar ke Pesawat.
Alhamdulillah, dalam hati saya. Akhirnya terbang juga. Tapi tidak lama kemudian, mulai gundah. Teringat pesawat yang sedang terbang ini, sudah tua, bahkan tadi waktu di starterpun, mesinya tidak hidup. Diketinggian diatas awan dalam pesawat itulah, saya pasrah dan memasrahkan diri, iklas apapun yang terjadi.
(Kisah lama)
Oleh : Ali Syarief