KPK Berpolitik Praktis
Peristiwa hukum yang ditangani oleh KPK tampak seperti gertak sambal terhadap sosok Megawati, terutama melalui pemanggilan Hasto pada Senin, 10 Juni 2024. Pemanggilan ini menggunakan atribut payung hukum super body KPK, disertai dengan pola penyitaan handphone.
Metode pemanggilan yang diterapkan oleh KPK cenderung lebih menonjolkan sisi politik praktis daripada unsur hukumnya. Panggilan terhadap Hasto oleh KPK memiliki indikasi kuat bahwa KPK, sebagai lembaga penegakan hukum, ditunggangi rezim penguasa atau mendapat dukungan dari kekuatan politik.
Indikatornya adalah keberanian KPK dalam memanggil Hasto, Sekjen PDIP, setelah beberapa petugas partainya hengkang atau, tepatnya, “berkhianat” menurut versi partai wong cilik. Kebetulan, kini kaum wong cilik tersebut sudah tidak efektif, kehilangan suara, dan minim gerakan radikal dibandingkan sebelumnya. Bahkan intelektualisnya pun mulai melemah, sampai-sampai “musuh bebuyutan politik” Anies Baswedan pun mereka lirik untuk Pilkada DKI Jakarta.
Harun Masiku: Alat Bargaining Hukum Stakeholder Rezim
Mungkin awalnya, pemanggilan Hasto oleh KPK berasal dari keluhan dan teriakan Harun Masiku dari tempat persembunyiannya. Masiku, yang disembunyikan oleh pihak tertentu, mungkin tidak tahu sampai kapan dirinya akan terus disembunyikan.
Pada mulanya, Masiku bersikap serakah, ingin melompati kepala rekan seperjuangannya dan menduduki kursi yang seharusnya milik rekan dengan suara lebih banyak pada Pileg 2019. Namun, tindakan ini diduga dengan izin dari Hasto dan Mega, yang berimplikasi hukum karena adanya praktik money politics yang melibatkan Komisioner Wahyu Setiawan. Wahyu pun akhirnya berteriak secara verbal dalam BAP dan sungguhan di pengadilan Tipikor.
Seiring dengan pembuatan BAP oleh KPK terhadap Wahyu Setiawan, Harun Masiku buru-buru “dikaburkan” atau disembunyikan, entah oleh siapa dan di mana.
Pada Mei 2022, KPK meminta bantuan masyarakat untuk mencari Harun. Namun, kini sikap KPK terlihat kontradiktif. KPK yang berani menunjukkan taringnya ini tampak tidak lagi membutuhkan bantuan masyarakat.
Kita berharap bahwa KPK, yang kini telah menemukan kembali semangat dan keberaniannya, dapat segera menangkap Harun Masiku dan membawa keadilan yang sesungguhnya. Mari kita tunggu dengan harapan besar bahwa minggu depan, KPK akan berhasil menangkap Harun Masiku, menutup lembaran kelam ini, dan membuktikan bahwa hukum tetap berdiri tegak di negeri ini.
Sebelum pemilu, setelah dimulainya perpecahan antara kubu Megawati dengan Jokowi selaku petugas partai, KPK pada Desember 2023 pernah “mengancam” dengan sinyal merah kepada Hasto Cs agar jangan “merusak marwah dan hasil kinerja eks petugas partai.” Ancaman KPK berupa sampel dengan metode BAP Wahyu Setiawan, eks anggota KPU RI, terkait perkara Masiku yang diduga melibatkan Hasto dan Megawati selaku petinggi tertinggi partai PDIP.
Namun ternyata, panggilan KPK terhadap Wahyu Setiawan justru dibalas oleh Hasto, Sekjen Partai PDIP, dengan mengeluarkan pernyataan: “Apakah dengan memindahkan Ibu Kota, kita menjadi hebat?” Hasto menilai cara pemerintahan Jokowi yang terlalu fokus menarik investor agar mau menanamkan modal tak lebih sama dengan yang dilakukan Belanda dulu.
Pernyataan Hasto tersebut membuat guncangan keras terhadap program IKN. Pernyataan hujatan Hasto terhadap IKN diduga kuat didasari atas persetujuan Megawati, selaku Ketum Partai. Maka, panggilan KPK terhadap Wahyu Setiawan terkait Masiku (dan Hasto), tidak menunjukkan rasa takut dari kedua petinggi tersebut.
Setelah KPK mendapatkan hasil pilpres 2024 yang dianggap banyak publik sebagai “sampah rekapitulasi dari sirekap bodong KPU,” muncul gelagat kuat perlawanan dari Hasto dan Mega terhadap KPK. Namun, karena putusan MK pada sengketa Pemilu Pilpres 2024 menyatakan pasangan Pilpres Nomor 02 Prabowo-Gibran hasil rekapitulasi termohon KPU adalah sah serta putusan final and binding, KPK semakin berani. Hasil cawe-cawe Jokowi kepada pasangan 02 berhasil memenangkan Pilpres 2024. Hasto pun dipanggil kembali oleh KPK pada Senin, 10 Juni 2024, termasuk menahan HP milik Hasto yang sedang berada di tangan ajudannya, tanpa mengindahkan HAM dan UU Perlindungan Data Pribadi. KPK menyita HP tersebut.
Kemudian, pada Selasa, 11 Juni 2024, KPK mengancam “akan menangkap Harun Masiku dalam waktu satu minggu.”
Dengan adanya ancaman ini, jika dibandingkan dengan perspektif tanggung jawab dan kewenangan KPK, maka logika hukumnya adalah bahwa KPK tidak perlu gembar-gembor mengancam siapa pun, karena menangkap tersangka koruptor memang tugas pokok dan fungsinya. KPK harus presisi, tiba-tiba, dan diam-diam menangkap tersangka.
Justru, indikator ancaman dari KPK ini menunjukkan KPK sengaja mempublikasikan rencana penangkapan Masiku dalam waktu seminggu, yang jika dalam kondisi normal, hal ini sangat berisiko karena Masiku sebagai pelaku delik akan pindah lokasi atau melarikan diri.
Maka, konklusi dari fenomena hukum berbalut politik dan kekuasaan ini, pemanggilan KPK terhadap Hasto dan penyitaan HP, kemudian mempublikasikan ancaman penangkapan Masiku dalam waktu seminggu, mudah dibaca arahnya. Tidak mustahil KPK atau utusannya sudah bertemu dengan Harun Masiku dan mungkin saja Masiku sudah berada dalam kendali KPK.
Sehingga, semakin jelas ada benang merah antara politik dan hukum yang sebenarnya bermaksud menyeret serta Megawati, sang pemilik partai wong cilik, selaku Ketum PDIP, karena ada kausalitas gratifikasi dari Harun Masiku kepada Wahyu Setiawan. Wahyu divonis selama 6 tahun penjara dan KPK pasti memiliki alat bukti tanda tangan pengesahan dari sekjen dan ketum organisasi partai PDIP.
Maka ini adalah bukti bahwa KPK berpolitik praktis dan pesanan, entah dari siapa, namun “prediksi subjek hukumnya sama, dia-dia juga stakeholder” yang saat ini sedang stres berat karena dirundung banyak peristiwa tanggung jawab dusta hukum yang dia tabur sebelumnya, termasuk melawan tuduhan publik bahwa dirinya nir moralitas karena menggunakan ijazah palsu S1 dari UGM.
Harun Masiku memang butuh kembali ke negaranya, apapun yang bakal terjadi, daripada tak jelas kehidupannya dan selalu dikejar bayang-bayang ketakutan. Masiku siap tampil simbiosis mutualisme, sekalipun dia dijadikan tameng bargaining dengan rezim politik kekuasaan.
Latar Belakang Jokowi Khianati Megawati dan PDIP
Flashback, mengapa Jokowi melakukan pengkhianatan selaku petugas partai, lalu mengapa KPK dapat dituduh bermain politik praktis serta ditunggangi dalam pemenuhan tugas pokok dan fungsinya terkait kasus delik gratifikasi Harun Masiku dan eks komisioner KPU Wahyu Setiawan? Di mana letak benang merah politik hukumnya terhadap Hasto dan Megawati?
Tentunya, kronologis peristiwa hukum dan politik yang ada akan terbaca dalam beberapa penggalan alinea dari artikel ini, yang dapat menjadi ilustrasi historis pengkhianatan yang mendekati estimasi faktual. Selanjutnya:
- Ada kumulasi peristiwa internal dalam tubuh PDIP, di antaranya ada erat hubungannya dengan wacana beberapa pembantu kabinet agar Jokowi menjabat presiden selama tiga periode. Namun, wacana ini ditolak mentah-mentah oleh empunya partai, Ketum Partai PDIP, Megawati, karena melanggar konstitusi.
Sang majikan partai pun pada hari pertama Ramadan pada tahun 2023 menitahkan atas nama partai menugaskan Ganjar Pranowo, sebagai anggota dan petugas partai yang bakal menjadi calon Presiden RI untuk Pilpres 2024. Jasmerah, pengumuman resmi partai ini di Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat, dan dihadiri langsung oleh Jokowi.
Setelah pengumuman di Batu Tulis, Bogor, Jokowi nampak sumringah. Sekembalinya, hari itu juga, Jokowi mengajak Ganjar bersamanya ke Solo, Surakarta, naik pesawat kepresidenan.
Dengan bantuan politik PDIP seperti Budiman Sudjatmiko yang lebih dulu mendukung Prabowo, Jokowi menggeser dukungannya ke Prabowo, Menhan dalam kabinetnya. Prabowo, setelah Ganjar diumumkan sebagai bakal capres, terbang ke Solo untuk bertemu dengan Jokowi dan Gibran, menunjukkan ketatnya hubungan dengan Jokowi.
Jokowi bermodalkan bantuan politik dan hukum melalui jalur sang adik semenda di MK, yang lama sudah dipersiapkan sebagai backup hukum jika dibutuhkan. Hasilnya, Gibran tetap bisa maju sebagai bakal capres/wapres di KPU meski ada kendala putusan MKMK.
Kini, Megawati sebagai tokoh bangsa mengobarkan perang, menyatakan diri sebagai oposisi terhadap Jokowi dan pemerintahan mendatang. Pernyataannya mengkritik program IKN dan menganggap Jokowi gagal memenuhi janji kampanyenya.
TAPERA dan Beban IKN
Pernyataan Hasto mengenai IKN menambah kekisruhan politik, menyebabkan mundurnya kepala otoritas IKN dan wakilnya. Ini memperkuat prediksi bahwa Prabowo, sebagai Presiden RI nanti, mungkin enggan mendukung proyek IKN yang tidak populer. Jokowi mengumumkan bahwa ia dan Prabowo akan memperingati 17 Agustus di IKN, seolah memaksakan Prabowo untuk tetap mendukung program tersebut.
Banyak ekonom memprediksi keberlanjutan proyek IKN bisa menambah beban ekonomi negara, yang sebelumnya terbebani oleh pandemi Covid-19 dan pengeluaran proyek strategis nasional. Kebijakan TAPERA oleh Jokowi tidak berdampak positif bagi perumahan rakyat.
Jika proyek IKN tidak segera dilanjutkan, bisa menjadi beban pemerintahan mendatang, memicu amarah pemerintahan baru. Akhirnya, Prabowo dan Gibran mungkin akan menunda proyek tersebut, berfokus pada pembangunan yang lebih penting, menyelamatkan negara dari krisis ekonomi yang lebih dalam.