Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta, Fusilatnews – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengklaim pihaknya tengah melakukan harmonisasi Peraturan KPU (PKPU) dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) usai terbitnya Putusan Mahkamah Agung (MA) No 23P/HUM/2024 yang mengatur batas usia calon gubernur-wakil gubernur 30 tahun saat dilantik.
Ironisnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menepis pihaknya terlibat dalam proses harmonisasi PKPU tersebut. Menurut mantan Kapolri itu, Kemendagri hanya akan mengikuti apa yang telah disepakati dalam PKPU yang dikonsultasikan dengan Komisi II DPR RI.
Pertanyaannya, bagaimana bisa KPU dan Mendagri “berbalas pantun” saling menegasikan? Ini aneh bin ajaib.
Mungkin Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengalami kebingungan, sehingga panas-dingin, demam dan menggigil. Maklum, ia menghadapi putusan MA yang serba ganjil.
Dan yang ganjil itu adalah Putusan MA No 23P/HUM/2024, sehingga patut diduga KPU mengalami kesulitan untuk menindaklanjuti atau mengimplementasikan putusan tersebut.
Dalam Putusan No 23P/HUM/2024 itu,
MA menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No 9 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
Dalam putusan itu, syarat usia 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon wali kota atau bupati yang sebelumnya dipatok pada tanggal penetapan calon diubah menjadi berlaku saat pelantikan calon terpilih. Syarat itu diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No 9 Tahun 2020 yang kemudian diminta MA untuk direvisi.
Mengapa Putusan MA No 23P/HUM/2024 itu ganjil?
Pertama, proses pengambilan putusan itu berlangsung super kilat, yakni hanya tiga hari. Permohonan masuk tanggal 27 Mei 2024, MA mengambil putusan pada 29 Mei 2024. Ada apa ini? Apa ada order dari pihak tertentu untuk meloloskan calon tertentu?
Disinyalir putusan tersebut untuk memfasilitasi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo yang juga Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) supaya bisa maju dalam Pilkada Jakarta 2024, baik sebagai calon gubernur atau pun calon wakil gubernur. Kaesang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024, sementara penetapan calon dijadwalkan tanggal 22 September 2024 saat usia Kaesang belum genap 30 tahun. Sedangkan pelantikan gubernur-wakil gubernur terpilih digelar sekitar Januari 2025.
Putusan MA ini analog dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 90/XXI/2023 tertanggal 16 Oktober 2023 yang memfasilitasi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, maju sebagai calon wakil presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 meskipun usianya baru 36 tahun, belum 40 tahun, karena sedang menjabat Walikota Surakarta, Jawa Tengah.
Kedua, PKPU No 9 Tahun 2020, yang kemudian dinyatakan bertentangan dengan UU No 10 Tahun 2016 oleh MA, sebenarnya berisi materi dari Pasal 7 huruf e UU No 10 Tahun 2016. Artinya, Putusan MA No 23P/HUM/2024 itu membatalkan sebuah pasal dalam undang-undang. Padahal, pembatalan undang-undang hanya bisa dilakukan melalui “judicial review” (uji materi) oleh MK atau “legislative review” oleh lembaga legislatif atau DPR RI.
Sementara MA tidak memiliki wewenang untuk membatalkan isi undang-undang. Artinya, MA melampaui kewenangannya dalam Putusan No 23P/HUM/2024.
Ketiga, tidak ada kepastian hukum. Hal ini pun sudah diakui oleh Hasyim Asy’ari sendiri. Menurut Ketua KPU itu, salah satu hal yang membuat pembahasan PKPU itu belum kunjung rampung lantaran belum ada kepastian tanggal pelantikan cagub dan cawagub. Sebab, saat cagub-cawagub dilantik, prosesnya sudah bukan lagi dalam ranah kewenangan KPU, melainkan pemerintah. Kewenangan KPU hanya sampai penetapan calon terpilih.
Untuk gubernur terpilih, yang menerbitkan surat keputusan adalah Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres).
Sedangkan untuk bupati dan wali kota terpilih, yang menerbitkan surat keputusan adalah Mendagri atas nama Presiden.
Dus, tak ada kewenangan KPU lagi usai penetapan calon terpilih.
Adapun yang ada kepastiannya itu adalah ketika penetapan pasangan calon pada tanggal 22 September 2024, dan itu jelas ada patokannya.
Sedangkan kalau dihitung pada saat pelantikan, itu belum jelas kapan waktunya. Dalam Pilkada 2024 yang akan digelar pada 27 November nanti, tidak ada keseragaman atau standar baku mengenai tanggal pelantikan. Sebab, pelantikan kepala daerah terpilih di suatu daerah bisa saja harus melewati sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK. Sementara dalam Pilkada nanti bisa saja ada daerah yang harus melewati tahapan sengketa PHPU atau tidak.
Keempat, apakah Putusan MA No 23P/HUM/2024 itu bisa diterapkan pada Pilkada 2024 yang tahapannya sudah dimulai?
Ya, tahapan Pilkada 2024 sudah dimulai, di mana calon perseorangan atau independen telah menyerahkan syarat dukungan. Contohnya di Jakarta. Padahal, hukum mengenal asas tidak berlaku surut, sehingga Putusan MA itu mestinya belum bisa diterapkan di Pilkada 2024.
Quo vadis (mau dibawa ke mana) putusan MA yang ganjil itu?