FusilatNews – Dalam narasi besar pembangunan, pemerintah sering kali menyoroti pertumbuhan ekonomi sebagai simbol keberhasilan. Namun di balik angka-angka makro yang tampak menjanjikan, realitas mikro justru memunculkan ironi yang mencemaskan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di bawah target, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang kian menggila, serta fenomena tutupnya para peritel besar merupakan sinyal-sinyal kuat yang tak bisa diabaikan—bahwa ekonomi nasional sedang menuju fase yang mengkhawatirkan.
Kabar terbaru datang dari GS Supermarket, jaringan ritel asal Korea Selatan yang akan menutup seluruh gerainya di Indonesia per 31 Mei 2025. Meskipun GS Supermarket hanya memiliki 9–10 cabang, keputusan mundur dari pasar Indonesia mempertegas bahwa iklim usaha domestik tidak lagi kondusif. Sebelumnya, Lulu Hypermart, ritel besar lainnya, juga lebih dulu angkat kaki. Fenomena ini bukan hanya sekadar keputusan bisnis biasa; ia mencerminkan kesulitan sistemik yang menjangkiti sektor ritel dalam negeri—mulai dari rumitnya perizinan, akses barang dagangan yang terbatas, hingga praktik premanisme yang merugikan.
Relasi antara mundurnya para pelaku ritel dengan kondisi ekonomi makro terlihat semakin jelas ketika kita menyandingkannya dengan tingginya angka PHK dalam beberapa bulan terakhir. Data dari berbagai sektor memperlihatkan tren pengurangan tenaga kerja, dari industri manufaktur hingga teknologi. Perusahaan-perusahaan melakukan efisiensi, bukan semata demi menyehatkan struktur internal, tetapi karena permintaan pasar yang lesu dan tekanan operasional yang berat. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga—penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia—sedang melemah.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 hanya menyentuh angka yang berada di bawah ekspektasi. Pemerintah boleh berdalih bahwa perlambatan ini bersifat global, namun fakta bahwa ekonomi domestik gagal memberikan daya tahan yang cukup menunjukkan kelemahan fundamental. Ketika lapangan kerja menyusut dan dunia usaha tertekan, otomatis konsumsi publik menurun. Siklus negatif ini saling mengunci dan memperparah krisis.
Apa yang terjadi pada GS Supermarket, Lulu Hypermart, serta gelombang PHK yang terjadi hampir bersamaan bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Mereka saling berkaitan dan saling memperkuat satu sama lain sebagai indikator dini krisis. Jika pemerintah tidak segera memperbaiki struktur ekonomi, memangkas kerumitan birokrasi usaha, serta memastikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha, maka tak tertutup kemungkinan deretan nama peritel yang tutup akan semakin panjang. Lebih dari itu, mimpi tentang pertumbuhan ekonomi inklusif bisa berubah menjadi ilusi yang kian jauh dari kenyataan.
Dalam konteks ini, publik tidak bisa terus dijejali optimisme kosong. Angka-angka makroekonomi harus diuji dengan realitas lapangan. Ketika toko-toko tutup, pekerja kehilangan nafkah, dan biaya hidup kian mencekik, maka sesungguhnya ekonomi tidak sedang bertumbuh—ia sedang terluka, bahkan mungkin sekarat.
Apakah Anda ingin saya tambahkan kutipan dari tokoh atau data statistik pendukung untuk memperkuat tulisan ini?
Dalam narasi besar pembangunan, pemerintah sering kali menyoroti pertumbuhan ekonomi sebagai simbol keberhasilan. Namun di balik angka-angka makro yang tampak menjanjikan, realitas mikro justru memunculkan ironi yang mencemaskan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di bawah target, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang kian menggila, serta fenomena tutupnya para peritel besar merupakan sinyal-sinyal kuat yang tak bisa diabaikan—bahwa ekonomi nasional sedang menuju fase yang mengkhawatirkan.
Kabar terbaru datang dari GS Supermarket, jaringan ritel asal Korea Selatan yang akan menutup seluruh gerainya di Indonesia per 31 Mei 2025. Meskipun GS Supermarket hanya memiliki 9–10 cabang, keputusan mundur dari pasar Indonesia mempertegas bahwa iklim usaha domestik tidak lagi kondusif. Sebelumnya, Lulu Hypermart, ritel besar lainnya, juga lebih dulu angkat kaki. Fenomena ini bukan hanya sekadar keputusan bisnis biasa; ia mencerminkan kesulitan sistemik yang menjangkiti sektor ritel dalam negeri—mulai dari rumitnya perizinan, akses barang dagangan yang terbatas, hingga praktik premanisme yang merugikan.
Relasi antara mundurnya para pelaku ritel dengan kondisi ekonomi makro terlihat semakin jelas ketika kita menyandingkannya dengan tingginya angka PHK dalam beberapa bulan terakhir. Data dari berbagai sektor memperlihatkan tren pengurangan tenaga kerja, dari industri manufaktur hingga teknologi. Perusahaan-perusahaan melakukan efisiensi, bukan semata demi menyehatkan struktur internal, tetapi karena permintaan pasar yang lesu dan tekanan operasional yang berat. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga—penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia—sedang melemah.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 hanya menyentuh angka yang berada di bawah ekspektasi. Pemerintah boleh berdalih bahwa perlambatan ini bersifat global, namun fakta bahwa ekonomi domestik gagal memberikan daya tahan yang cukup menunjukkan kelemahan fundamental. Ketika lapangan kerja menyusut dan dunia usaha tertekan, otomatis konsumsi publik menurun. Siklus negatif ini saling mengunci dan memperparah krisis.
Apa yang terjadi pada GS Supermarket, Lulu Hypermart, serta gelombang PHK yang terjadi hampir bersamaan bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Mereka saling berkaitan dan saling memperkuat satu sama lain sebagai indikator dini krisis. Jika pemerintah tidak segera memperbaiki struktur ekonomi, memangkas kerumitan birokrasi usaha, serta memastikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha, maka tak tertutup kemungkinan deretan nama peritel yang tutup akan semakin panjang. Lebih dari itu, mimpi tentang pertumbuhan ekonomi inklusif bisa berubah menjadi ilusi yang kian jauh dari kenyataan.
Dalam konteks ini, publik tidak bisa terus dijejali optimisme kosong. Angka-angka makroekonomi harus diuji dengan realitas lapangan. Ketika toko-toko tutup, pekerja kehilangan nafkah, dan biaya hidup kian mencekik, maka sesungguhnya ekonomi tidak sedang bertumbuh—ia sedang terluka, bahkan mungkin sekarat.