FusulatNews – Di Jepang, kekhawatiran bahwa perempuan yang memasuki dunia kerja akan mempercepat penurunan angka kelahiran telah lama menghantui para perancang kebijakan. Narasi lama yang mengakar menyebutkan bahwa rumah yang dijaga oleh ibu rumah tangga akan lebih subur secara biologis, karena perempuan punya lebih banyak waktu untuk hamil, melahirkan, dan mengurus anak. Namun, data justru bicara sebaliknya.
Berdasarkan sensus nasional, keluarga dengan dua pencari nafkah—yakni suami dan istri yang sama-sama bekerja—ternyata lebih mungkin memiliki anak dibanding keluarga yang hanya mengandalkan penghasilan suami, sementara istri tinggal di rumah. Kenyataan ini membalikkan anggapan konservatif yang selama ini menjadi basis kebijakan negara.
Kanako Amano, peneliti senior demografi dari NLI Research Institute, menjadi salah satu suara yang lantang mendesak kesetaraan gender dalam dunia kerja sebagai strategi jangka panjang menahan laju merosotnya angka kelahiran. Menurut Amano, masalahnya bukan karena perempuan terlalu sibuk bekerja sehingga enggan punya anak. Masalahnya adalah sistem kerja dan struktur sosial yang belum bersahabat terhadap perempuan yang ingin bekerja sekaligus menjadi ibu.
“Jika perempuan merasa harus memilih antara karier atau keluarga, maka sebagian besar akan memilih menunda memiliki anak atau bahkan tidak punya anak sama sekali,” kata Amano dalam sebuah wawancara. Tapi jika sistem mendukung perempuan untuk menjalani keduanya, data menunjukkan mereka justru lebih siap untuk membangun keluarga.
Kesimpulan ini selaras dengan tren di negara-negara maju lainnya. Skandinavia, misalnya, menunjukkan bahwa negara yang menyediakan cuti melahirkan yang adil, penitipan anak terjangkau, serta jam kerja fleksibel cenderung memiliki angka kelahiran yang lebih tinggi daripada negara-negara yang memaksa perempuan memilih.
Dengan kata lain, jika negara ingin mendorong perempuan untuk melahirkan lebih banyak anak, bukan ruang dapur yang perlu diperluas, melainkan ruang kerja yang perlu dibuka lebih lebar. Perempuan bukan penyebab merosotnya kelahiran. Sebaliknya, mereka bisa menjadi kunci pemulihan demografis—jika diberi hak dan dukungan yang setara.