FusilatNews – Empat hari. Bagi sebagian orang, itu adalah waktu yang cukup untuk menyeberangi pulau, mendaki gunung, atau kembali ke kampung halaman. Bagi yang lain, empat hari itu bisa menjadi jeda langka untuk tidur tanpa alarm, membaca buku yang sudah berdebu di rak, atau sekadar menatap langit sore dari beranda rumah. Long weekend kali ini, dari Sabtu, 10 Mei hingga Selasa, 13 Mei 2025, adalah anugerah waktu yang patut direnungkan maknanya, bukan sekadar dirayakan sebagai pelarian dari rutinitas.
Libur panjang ini adalah hasil pertemuan manis antara akhir pekan, Hari Raya Waisak 2569 BE pada 12 Mei, dan cuti bersama keesokan harinya. Dalam kepadatan hidup modern, libur seperti ini tak ubahnya oase. Ia bukan hanya kesempatan untuk berlibur, melainkan ruang untuk menyembuhkan. Ya, menyembuhkan. Karena sejatinya, waktu libur bukan hanya soal berpindah tempat, tapi soal bagaimana kita berpindah makna—dari hidup yang dijalani dengan tergesa, menuju hidup yang dijalani dengan sadar.
Hari Raya Waisak sendiri adalah peringatan akan tiga peristiwa agung dalam hidup Sang Buddha: kelahiran, pencerahan, dan parinibbana (wafat). Bagi umat Buddha, ini adalah momen spiritual. Tapi bagi kita semua, Waisak mengandung pesan universal: tentang keheningan, kesadaran, dan pelepasan dari keterikatan. Bukankah liburan pun bisa menjadi bentuk kontemplasi kecil atas hidup yang begitu cepat berlalu?
Ada yang memilih pergi ke alam, mendaki, menyelam, menyusuri pantai. Ada pula yang memilih tinggal, merawat rumah, menyiram tanaman, menyeduh teh. Apapun bentuknya, yang penting bukan ke mana kita pergi, tapi bagaimana kita hadir sepenuhnya. Liburan yang benar-benar liburan bukan diukur dari jarak, tetapi dari kedalaman. Dari seberapa jujur kita menatap diri sendiri saat segala kebisingan pekerjaan diredupkan.
Saat tubuh diberi haknya untuk istirahat, dan jiwa diberi ruang untuk diam, kita sedang berlatih menjadi manusia yang utuh. Barangkali itu sebabnya, liburan bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Ia bukan pelarian dari hidup, melainkan bagian dari cara kita menjalani hidup dengan lebih sehat—baik secara fisik maupun batin.
Maka nikmatilah libur panjang ini dengan bijak. Bukan dengan menghabiskan semuanya dalam kepenatan baru yang bernama wisata massal, tapi dengan memilih aktivitas yang memberi makna. Entah itu perjalanan jauh atau keheningan dalam kamar sendiri, keduanya bisa menjadi bentuk perayaan yang menyehatkan, bila dilakukan dengan sadar.
Karena sesungguhnya, long weekend bukan tentang panjangnya hari libur, tapi tentang seberapa dalam kita mengizinkan diri untuk benar-benar hadir, istirahat, dan menjadi utuh kembali.