Oleh M Yamin Nasution – Pemerhati Hukum

“Everyone charged with a criminal offence shall be presumed innocent until proved guilty according to law”
Seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum.
Penegasan diatas adalah bunyi Pasal 6 Ayat ( 2 ) Hak Asasi Manusia (ECHR), dan kalimat tersebut menjadi prinsip utama dalam penegakan hukum di seluruh Negara.
Pembahasan tentang polemik Ijazah Priden ke VII Republik Indonesia yaitu Bapak Ir. Joko Widodo masih menjadi trending topic dikalangan dunia maya.
Banyak netizen yang berpendapat dan meyakini indikasi ijazah Presiden ke VII didapat tanpa memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam peraturan-peraturan tentang pendidikan.
Adapun ciri-ciri Ijazah palsu yang diatur oleh Perka BKN No. 25 Tahun 2015 Tentang Administratif dan Pegawai Negeri Sipil Yang Menggunakan Ijazah Palsu ada empat, salah satunya ialah “Ijazah yang diperoleh tidak sesuai dengan peraturan tentang pendidikan.
Artinya, sekalipun Ijazah tersebut asli dikeluarkan suatu lembaga pendidikan,apabila melewatkan proses-proses teknis, maka Ijazah tersebut tidak dapat dikatakan asli.
Terlebih lagi, pihak yang menyatakan palsu Ijazah Presiden ke VII tersebut adalah orang-orang yang memiliki keahlian khusus, dalam istilah hukum disebut expert witness (testimonium de auditu). Dan keyakinan masyarakat semakin besar atas kepalsuan tersebut.
Namun sebaliknya, sangat banyak masyarakat yang berpendapat bahwa Ijazah Presiden ke VII tersebut adalah asli, terlebih sebelum terpilih menjadi Presiden, Ir. Joko Widodo adalah seorang Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Solo.
Salah satu syarat yang diatur oleh Undang-Undang dan Peraturan Tentang Pemilu, seorang yang hendak maju sebagai calon wajib memiliki pendidikan seminim-minimnya SLTA dan melampirkan foto copy Ijazah terakhir yang dilegalisir.
Verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah berkali-kali dilewati, tidak ada permasalahan yang ditemukan dan dalam Konsep Hukum Tata Usaha Negara Ijazah Presiden ke VII tersebut sah.
Pendapat sederhana masyarakat yang menolak Ijazah Presiden ke VII disebut palsu dengan dasar proses KPU dan lainnya, dalam istilah hukum dikenal dengan peranggapan sah, dalam istilah bahasa Belanda disebut Vermoeden van Rechtmatigheids, sedangkan dalam bahasa Latin disebut Presumptio Iustae Cause.
Apa Asas Prasangka Sah?
Prasangka Sah “Presumption of Regularity” digunakan dalam hukum Tata Negara, Hukum Tata Negara Indonesia menganut tertulis dan tidak tertulis, tidak tertulis berkaitan dengan sifat bahasa abstrak UUD-NRI 1945, bahasa yang abstrak tersebut menunjukkan konstitusi yang hidup (Living Law Constitution), dengan tujuan untuk memfasiltasi perkembangan masyarakat dengan perkembangan zaman.
Arti asas prasangka sah secara singkat ialah bahwa :
“setiap tindakan atau keputusan lembaga atau pejabat administrasi Negara harus dianggap sah dan benar secara hukum, hingga dapat dibuktikan sebaliknya yaitu salah berdasarkan hukum”.
Tahapan demi tahapan secara prosedural yang telah dilalui oleh Presiden ke VII tersebut sah secara hukum, mengingat hal tersebut adalah hal yang menjadi wajib untuk dilakukan oleh setiap orang yang ingin mencalonkan dirinya.
Maka dalam kontek Hukum Tata Negara kaitannya dengan PTUN wajib menyebutkan bahwa Ijazah Presiden ke VII tersebut sah keberlakuannya.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa asas ini tidak mutlak (absolut), dapat dibantah bila memiliki bukti-bukti lain yang kuat.
Ada beberapa yurisprudensi yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, seorang pejabat yang telah melewati proses administrasi Negara dalam pemilu hingga ia purna menjabat, pada akhirnya ditemukan bukti lain dan dibatalkan oleh hukum, karena Ijazah yang didapat melewatkan suatu proses yang diatur oleh aturan tentang pendidikan.
Pendapat ahli digital forensik “testimonium de auditu – expert witness” boleh jadi salah satu alat bukti (bukan satu-satunya), namun tidak serta merta membatalkan dokumen-dokumen yang telah dianggap sah secara konstitusional.
Sebagaimana kutipan Pasal 6 Ayat (2) ECHR pada pembukaan tulisan ini yang menyatakan :
“Seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum”.
Teori Individualis Post Factum
Pihak-pihak yang berpendapat dan meyakini Ijazah Presiden ke VII tersebut adalah Palsu “de eigenlijke falsum” bila dikaitkan dengan hukum pidana mesti menggunakan pendekatan Teori Individualis Post Factum.
Teori Individualis Post Factum ini menjelaskan bahwa telah terjadi suatu peristiwa pidana yaitu suatu rangkaian peristiwa pemalsuan ijazah. Artinya adanya suatu pemukatan jahat yang dilakukan tidak hanya sendiri melainkan lebih dari satu orang.
Pemukatan jahat atau dalam istilah Belanda dikenal dengan “samen spanning,” dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut sebagai delik penyertaan “deelneming” diatur pada Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57 dan (Pasal 110 terkait dengan makar atau Aanslag).
Problematika utama dalam proses pembuktian, dibutuhkan penyeledikan dan penyidikan yang besar sebelum dibawa kepengadilan dalam proses pembuktian. Siapa saja orang-orang turut serta dalam tindak pidana yang dimaksud, siapa yang menyuruh, siapa yang mengerjakan dan siapa menandatangi surat-surat, siapa yang mengedit Skripsi dan seterusnya. Mengingat keterangan ahli forensik “expert witness” bukanlah satu-satunya, melainkan salah satu sebagaimana diatur Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Aacara Pidana (KUHAP).
Teori Adequate Subyektif
Kedudukan hukum Rismon Hasiholan Sianipar, Roy Suryo dan beberapa orang lainnya adalah sebagai terlapor, bukan sebagai pelapor atas polemik Ijazah Presiden ke VII dan bukan juga sebagai ahli bila berada diruang pengadilan.
Mereka di Laporkan atas Pasal Pencemaran nama baik dan fitnah (terkait Laporan di Polres Jakarta Selatan atas Roy Suryo dikesampingkan, Pasal 160 KUHP yang mengatur tentang hasutan adalah pidana materil, artinya membutuhkan dampak yang bersifat post factum atau telah terjadi suatu perbuatan pidana nyata akibat hasutan).
Dalam proses kepolisian dan pembuktian di pengadilan terlapor/terdakwa akan diperiksa terkait unsur-unsur pencemaran nama baik dan fitnah yang dimaksud.
Bila pelapor menggunakan dalil yang berlawanan dengan Individualis Post Factum yaitu Adequate Subyektif, dimana suatu perbuatan yang akibat dari perbuatan itu dapat diperkirakan sebelumnya oleh pelaku. Hal “sebelumnya telah dapat diketahui oleh pelaku” adalah suatu anasir subjektif.
Bahwa riset tentang Ijazah dan Skripsi bersifat subyektif, selain itu bahwa keterangan ahli “expert witness” hanyalah salah satu bukan satu-satunya secara mutlak, dan disisi lain penyidik hanya akan memeriksa terkait pencemaran nama baik dan fitnah dengan berangkat dari Asas Peranggapan Sah dalam hukum tata Negara, sehingga penyidik memiliki dalil kuat untuk tidak melakukan pemeriksaan yang terkait dengan penyertaan, dan mustahil untuk menahan pengguna Ijazah Palsu bila belum menentukan pelaku utama “dader”.
Dalam perkara Putusan Nomor 318/Pid.Sus/2022/PN.Skt atas Putusan Bambang Tri terkait hal yang sama, kelemahan pada perkara ini ialah bahwa Bambang Tri lebih banyak menggunakan kesaksian yang diatur dalam hukum sebagai testimonium de auditu.
Kesaksian tersebut lebih kepada pernyataan “katanya”, walaupun Bambang Tri melakukan investigasi sebagai wartawan, namun orang-orang yang ditanya tidaklah orang-orang yang mengalami secara langsung bersekolah dengan Presiden ke VII tersebut, atau orang-orang yang mengalami secara langsung telah meninggal dunia.
Terlebih kelemahan sistem pembuktian yang diatur di KUHAP mengenal dan mengatur tentang hak ingkar, dalam istilah Saxony dikenal dengan persuasive burden of proof, dimana seorang terdakwa akan menjadi lemah bila tidak dapat menghadirkan kesaksian yang kuat yang dialami oleh orang yang secara langsung melihat, mengalami dan mendengar suatu peristiwa.
testimonium de auditu tentunya diakui secara hukum acara di Indonesia, akan tetapi tidak disarankan menjadi yang utama melainkan saksi bersifat tambahan pendukung dan penguat saksi utama, demikian kesaksian ahli “expert witness”.