Oleh: Entang Sastraatmadja
Semangat Presiden Prabowo untuk mengekspor beras ke Malaysia bukan sekadar retorika kosong. Ia tampak sungguh-sungguh ingin menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah limpahan produksi beras nasional, Presiden berharap kelebihan itu bisa membantu negara tetangga yang sedang kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya.
Malaysia, saat ini, sedang menghadapi krisis produksi beras. Tak heran jika Menteri Pertanian mereka datang langsung menemui Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman, untuk menjajaki kemungkinan impor beras dari Indonesia. Namun, pertemuan tersebut belum membuahkan kesepakatan, sebab Pemerintah Indonesia masih melakukan konsolidasi cadangan beras dalam negeri. Kekhawatiran akan kondisi iklim dan cuaca pasca panen raya membuat pemerintah perlu berhitung lebih cermat demi menjaga ketahanan pangan nasional.
Ada optimisme yang mulai tumbuh bahwa Indonesia telah kembali menyandang status sebagai negara berswasembada beras. Proyeksi dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mencatat produksi beras Indonesia tahun ini akan mencapai 34,6 juta ton. Cadangan beras pemerintah pun mendekati angka 4 juta ton, sementara impor beras dihentikan. Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia benar-benar kembali pada era swasembada beras.
Namun, pertanyaannya: apakah swasembada yang kita capai saat ini bersifat berkelanjutan, atau hanya swasembada “musiman” (on trend)? Sebuah capaian yang hanya indah dalam hitungan tahun politik, tapi rapuh dalam jangka panjang?
Swasembada beras “on trend” biasanya hanya terjadi dalam periode tertentu, tanpa jaminan berlanjut. Sebaliknya, swasembada beras berkelanjutan berarti stabil, konsisten, dan dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Perbedaan fundamental ini sangat penting, karena hanya dengan swasembada yang berkelanjutanlah bangsa ini bisa menjaga kemandirian pangan dan berdiri tegak sebagai kekuatan agraris.
Menjelang paruh kedua tahun 2025, kita perlu bertanya: apakah capaian swasembada ini hanya euforia pasca panen raya? Ataukah kita memang telah menata fondasi pertanian yang kokoh untuk melangkah ke tahap lebih tinggi?
Era kepemimpinan telah berganti. Presiden Prabowo diyakini tidak ingin mengulang pola kebijakan para pendahulunya. Ia pasti menginginkan swasembada beras yang permanen, bukan musiman. Sebab itu, kerja besar menanti Kementerian Koordinator Bidang Pangan dan Kementerian Pertanian untuk menyusun kebijakan yang berpijak pada prinsip keberlanjutan, bukan sekadar respons sesaat.
Ketika Malaysia datang melobi untuk membeli beras dari Indonesia, jawaban yang dibutuhkan bukan sekadar “ya” atau “tidak”, tetapi keputusan yang lahir dari kehati-hatian, kalkulasi teknokratik, dan pertimbangan politis yang matang. Jangan sampai kita terjebak dalam kebijakan ekspor yang menggerus ketahanan pangan dalam negeri.
Bangsa yang percaya diri tidak ragu mengekspor hasil kelebihannya. Ekspor beras adalah peluang ekonomi sekaligus diplomasi pangan. Namun, jangan sampai dunia bertanya, mengapa negara yang mengklaim surplus justru melakukan impor secara diam-diam?
Permintaan Malaysia harus dilihat sebagai peluang strategis untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai “raja beras” di kawasan ASEAN. Bagi Perum Bulog, ini juga momentum membangun citra sebagai pemain pangan berskala internasional.
Semoga bila pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengekspor beras, kebijakan tersebut lahir dari pemikiran yang matang dan perhitungan yang akurat. Jangan sampai ekspor justru membuka lubang krisis baru di dalam negeri. Sebaliknya, biarlah ekspor ini menjadi berkah — bukan hanya bagi negeri tetangga, tapi juga untuk kejayaan Indonesia di masa depan.
Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat