Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Masalah serius dan mendasar nilai manusia terletak pada moral dan akhlaknya. Bangsa yang mengalami kerusakan moral, terutama dalam politik, tidak akan memiliki harkat dan martabat yang mulia. Permasalahan moralitas ini tidak terlepas dari perjalanan hidup manusia secara umum, dan biasanya, kerusakan moral lebih dulu mengenai moralitas pemimpinnya yang tidak mencerminkan contoh yang baik.
Kepemimpinan nasional ke depan tidak hanya terkait dengan Jokowi, yang telah dihantui oleh masalah latar belakang tuduhan pelanggaran hukum terkait penggunaan Ijazah Palsu dan janji-janji politik yang telah diingkari berulang kali. Namun, menjadi suatu kekhawatiran jika pola kepemimpinan Jokowi terus berlanjut dalam satu atau dua dasawarsa mendatang.
Anasir dari kepribadian kolektifitas bangsa menjadi fokus studi pengamatan ilmu sosiologi dan politik bagi kaum akademisi, karena tragisnya, Jokowi terpilih kembali memimpin bangsa selama dua periode tanpa publik mendapatkan kejelasan atas keterbukaan informasi publik sebagai bagian dari hukum positif yang berlaku (ius konstitum). Meskipun tuduhan terkait ijazah palsu telah menjerat seorang WNI yang sudah dipenjarakan untuk kedua kalinya. Ini menandai anomali praktik hukum dan politik yang brutal di tanah air, di mana negara yang berdasarkan Pancasila, yang menghargai asas kemanusiaan yang adil dan beradab, justru mengalami kegagalan dalam menegakkan nilai-nilai tersebut.
Kendati demikian, realitas mayoritas masyarakat melalui Pemilu Pilpres 2024 memilih untuk dipimpin oleh Prabowo Subianto, individu yang juga memiliki cacat hukum, karena sejarahnya sebagai pelaku penculikan dengan kekerasan 26 tahun yang lalu, yang menyebabkan beberapa aktivis tewas dan masih ada 13 orang yang hilang hingga kini. Status Prabowo sebagai aktor intelektual kejahatan HAM masih menjadi polemik yang mengemuka.
Selanjutnya, gejala-gejala sosial dari diskursus politik dan hukum yang semakin berkembang menunjukkan bahwa suksesi kepemimpinan nasional yang akan datang, baik dalam bentuk embrio Prabowo maupun sosok pemimpin potensial seperti Gibran Rakabuming bin Joko Widodo, jika terpilih sebagai RI.2, akan menghadapi tantangan yang semakin kompleks.
Namun, jika Jokowi, Prabowo, dan figur Gibran, baik secara eksplisit maupun implisit, menyatakan bahwa kelangsungan pola kepemimpinan kontemporer mereka hanya bertujuan untuk meningkatkan tatanan hukum, ekonomi, dan politik negara demi kesejahteraan bangsa, hal itu hanya akan dianggap sebagai isapan jempol. Pasalnya, masyarakat menyadari bahwa keberlanjutan kepemimpinan mereka lebih berkaitan dengan regenerasi kekuasaan dan kepentingan pribadi serta kroni yang memiliki banyak masalah hukum.
Hal ini terutama terlihat dalam upaya memaksakan figur Gibran sebagai pewaris kekuasaan, meskipun muncul banyak kontroversi terkait statusnya sebagai “anak haram konstitusi”. Gibran dianggap sebagai simbol dari praktik politik kotor yang dilegitimasi oleh keputusan Mahkamah Konstitusi, meskipun pada kenyataannya ia belum memenuhi syarat usia untuk menjadi calon wakil presiden pada Pemilu Pilpres 2024. Hal ini menunjukkan adanya cacat hukum dalam proses politik yang semakin merusak integritas sistem hukum dan politik negara.
Gibran juga tercatat sebagai subjek hukum yang dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan demikian, proses hukum dan penegakannya kelak akan menjadi lebih rumit, rawan, dan semakin menjauh dari prinsip kesetaraan.
Pertanyaan yang sering muncul di kalangan publik adalah bagaimana Indonesia, yang seharusnya menjadi negara hukum di mana setiap tindakan warga negara harus didasarkan pada hukum (rule of law), justru menunjukkan realitas yang berbeda. Para pelaku kejahatan yang seharusnya dihukum dan kehilangan hak politik mereka sesuai dengan hukum yang berlaku, malah mendapatkan dukungan penuh dari kelompok penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang berkuasa. Di sisi lain, pelanggar hukum atau mereka yang hanya bermimpi agar hukum diterapkan dengan adil, sering kali dihukum seperti koruptor dan kehilangan hak politik mereka.
Namun, sayangnya, mayoritas masyarakat Indonesia cenderung diam terhadap penguasa yang seharusnya mematuhi prinsip rule of law. Mereka terlibat dalam pembiaran terhadap pelanggaran hukum yang terus menerus atau “obstruksi keadilan” demi mempertahankan penguasa yang bertindak di luar norma. Bagi penguasa kontemporer, hukum hanyalah selembar kertas tebal yang hampir tidak memiliki nilai dalam penerapan praktisnya.
Saat ini, suara penguasa semakin mengeras dalam upaya untuk meredam semangat yang seharusnya memotivasi manusia untuk bertindak baik demi terciptanya kemenangan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan dalam teori tujuan bernegara yang tercantum dalam UUD 1945. Namun, ironisnya, upaya tersebut justru menjadi antitesis, yang turut memperbarui pola kepemimpinan yang melanggar aturan (ruler without rules) melalui pemilihan umum presiden tahun 2024. Hal ini dapat menjadi langkah awal menuju kemunduran di berbagai sektor kehidupan, seperti ekonomi, hukum, dan politik, mencapai puncaknya dalam satu atau dua dasawarsa jika kepemimpinan Joko Widodo terus berlanjut. Tidaklah mustahil bahwa situasi ini akan mengarah pada disintegrasi bangsa dan negara Republik Indonesia. Salah satu daerah yang berpotensi menjadi titik rawan, menurut prediksi penulis, adalah berpencarnya wilayah di Pulau Kalimantan Bagian Timur dan sekitarnya.