Adalah Wie Chong namanya. Orang China. Temanku waktu kecil. Saya adalah saksi, bahwa dia tidak tamat sekolah hingga SMP. Tapi memakluminya. Dia putus sekolah, karena orang tuanya memang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Ia, kakak-kakaknya dan adik-adiknya, sehari hari hanya bisa bekerja membantu di Toko besi dan sekaligus rumah milik orang tuanya. Toko besi itu menjual paku. cat, seng, dan alat-alat bangunan lainnya. Waktu itu makan keluarganya, saya lihat sendiri, masih kadang-kadang bubur saja.
Itu cerita 50 tahun yang lalu. Kini Wie Chong, masih tetap jualan barang yang sama seperti yang lalu. Tempatnya juga masih disitu. Tapi yang berubah sekarang adalah, perputaran uangnya, tiap hari bisa ratusan juta rupiah. Tanah dan bangunan didepan dan disamping tokonya sudah dibelinya. Dijadikan gudang untuk stock barang2nya. Kakak-kakak dan adik-adiknya pun sudah punya Toko lain di tempat yang berbeda.
Wie Chong boleh jadi berangan-angan lebih dari apa yang sudah dia raih waktu itu. Tapi apa yang ia lakukan? Terbatasi. Ia hanya bisa melanjutkan usaha orang tuanya, kompak bersama kakak dan adik-adiknya saja. Karena kemampuannya memang hanya sampai itu dan karena situasi saat itu, memang Wie Chong tidak mungkin jadi PNS, TNI, apalagi mimpi jadi Menteri.
Tapi yang ia dan sekeluarga lakukan hanya itu. Melanjutkan dan memelihara usaha Toko Besi, dagang milik orang tuanya. Dalam budaya urang Sunda ini disebut dengan frasa “Ngeureuyeuh”. Dalama kosa kata Ustadz adalah, kata lain dari mensyukuri karunia Tuhan. Ia adalah teguh, ulet dan tawakal.
Inilah sunnatullah/hukumullah, maka kepada Wie Chong berhak menerima reward dari Rabbnya, yaitu ditambahnya nikmat rizki yang berlipat ganda kepadanya bersama saudara-saudaranya itu.
Ngeureuyeuh versus Do’a
Ini cerita masih 50 tahun yang lalu. Ustadz Aceng, almarhum, teman karib Ayahanda saya. Tiap hari kerjanya mengajar (pengajian). Saya masih ingat beliau biasa menggunakan sepeda ontel. Sudah pasti, tentu saja Ustad menuntun pelajaran, ada bab bagaimana berdo’a supaya dikabulkan oleh Allah. Karena menurut faham kita Do’a adalah jalan pintas, untuk mencapai tujuan yg kita inginkan. Umat pada umumnya, suka banget mengamalkan berbagai metoda do’a itu.
Suatu hari, saya bertemu dengan Putranya (skrg sudah almarhum). Sepertinya dia, Ustad Adang, begitu orang memanggilnya, juga seorang ustadz yang melanjutkan titisan orang tuanya, yaitu masih sebagai ustad ngaji dan juru do’a, diberbagai acara pengajian atau tasyakuran. Ia menggunakan motor ketika berangkat menenuhi undangan pengajian.
Keduanya, sudah almarhum.
Pertanyaan saya adalah, benarkah memaknai do’a itu seperti yang ada saat ini dalam benak kita? Yang Qun fayaqun! jadi maka jadilah. Be and iti is. Do’a adalah sebagai sesuatu keajaiban. Seperti yang diajarkan oleh Yusuf Mansur, dengan jagoan do’anya yaitu doa “lafdul Jalalah”. Bila ingin sesuatu, cukup mengucap banyak-banyak kalimat seperti ini; “Allah Kaya, Allah Kaya atau Allah Mobil, Allah Mobil, atau Allah Mobil”, lalu adakadabra Allah mengabulkannya!?
Dua gambaran sosok diatas itulah yang kemudian saya renungkan dengan merujuk kepada Al-qur’anulkarim, sehingga kesimpulan saya menjadi seperti ini ;
1. Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri merubahnya. Strateginya “ ngeureuyeuh” itu tadi, yang dalam bahasa qur’an yang lain disebut sebagai “shabar”. Step by step, begitulah hukum Allah. Tidak pernah ada kejadian seorang bayi begitu lahir kemudian serta merta bisa berbicara. Jadi qun fayakun itu konteksnya adalah suatu proses.
2. Do’a adalah strategi akhir setelah manusia secara maksimal melakukan ikhitiarnya. Karena berjuang dengan do’a adalah selemah lemah orang yang beriman. Kata baginda rosul; Ubahlah kemaksiatan itu dengan kekuasaanmu, bila tidak mampu, dengan lisan mu, bila tidak mampu juga maka berdo’alah. Itulah selemah lemah orang yang beriman!.
3. Karena itu marilah do’a itu kita fahami dan tafisrkan dalam paradigma baru yaitu a vision. Cita-Cita. Angan-angan itu harus selalu kita utarakan setiap saat kepadaNya, supaya masuk dalam otak bawah sadar kita, sehingga kemudian menjadi sikap dan memfokuskan gerak langkah sehari hari untuk mencapai visi itu. Oleh karena itu menjadi benar adanya, sebagaima Tuhan mengatakan berdo’alah niscaya akan kami kabulkan tapi “fastajibuli” (penuhi dulu syarat-syaratnya). Apa itu fastajbuli? Adalah ikhtiar. Dan sebaik baik icktiar adalah “ngeureuyeuh”.
Semoga bermanfaat.