Kisah Perpindahan Ibu Kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung,Dimulai dari Instansi Militer, Pembangunan Seterusnya Terbengkalai Akibat Jepang dan Malaise (3, Selesai)
TIM perencanaan pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Jakarta ke Bandung merancang kantor pusat militer atau pertahanan terpisah dari perkantoran sipil. Ini dimaksudkan agar kompleks perkantoran sipil bernuansa cair, sesuai dengan misi yang diemban tim: anggun, berwibawa, yang selaras dengan lingkungan sekelilingnya.
Pemerintah Hindia Belanda mula-mula memindahkan pusat militer dari Jakarta ke Bandung. Kenapa militer lebih dahulu dipindahkan? Itu tiada lain untuk memastikan pembangunan ibu kota baru Hindia Belanda benar-benar aman dan berjalan lancar, menurut istilah sekarang: kondusif.
Pertama kali dibangun adalah Devartement van Oorlog (Departemen Peperangan), masyarakat Bandung menyebutnya Gedong Sabau. Penamaan ini merujuk pada luas bangunan yang dipakainya: 1 bau atau kira-kira 7000 meter persegi, teletak di sekitar Insulindepark (sekarang Taman Lalu Lintas).
Setelah itu pembangunan dan pemindahan Paleis van de Legercommandant (Istana Panglima Tentara). Negara Indonesia merdeka, Istana ini dijadikan kantor Pangdam III Siliwangi. Artilledrie Constructie Winkel (ACW) juga dipindahkan dari Surabaya ke Kiaracondong Bandung, kini PT Pindad.
Instansi militer lainnya yang pindah ke Bandung: Topographischen Dienst (Dinas Topografi Angkatan Darat) dan Militairen Vliegdients (Angkutan Udara Militer). Sebelum ada rencana pemindahan ibu kota, Pemerintah Hindia Belanda telah membangun kompleks militer di Cimahi.
Kantor pusat kereta api (Staats Spoorwegen), Lembaga Meteorologi, Bengkel Induk PTT(Post Telegraaf en Telefoondienst), Stasion Radio Telefon, juga dipindahkan. Kantor industri dan perusahaan multi nasional juga membuka kantor pusatnya di Bandung. Di antaranya Philips, Siemens, Javasche Bank, dan Rhein Elbe Unian.
Pembangunan gedung instansi pemerintah pusat sendiri dimulai dikerjakan 27 Juli 1920: mulai dibangunnya gedung yang sekarang dinamakan Gedong Sate. Menurut mendiang Haryoto Kunto, Gedong Sate diperuntukan kantor Departemen Verkeer en Waterstaat (Depertamen Manajemen Perhubungan dan Air).
“Gedong Sate sekarang baru 5 persen dari rencana pembangunan kompleks perkantoran pemerintah pusat,” ujar mendiang Haryoto Kunto. Kantor departemen pusat, istana gubernur Jendral Hindia Belanda belum dibangun, namun denahnya sudah dirancang, perancangnya planologi dan arsitek.
Dalam buku Balai Agung di Kota Bandung (Granesia, 1996) Haryoto Kunto menulis peletakan batu pertama pembangunan Gedong Sate dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, putri sulung Walikota Bandung, B.Coops dan oleh Petronella Roelofsen yang mewakili Gubernur Jendral. Keduanya masih gadis.
Gedong Sate dirancang oleh arsitek Ir. Gerber dari Jawatan Gedung Negara (Landsgebouwndienst). Pertama selesai dibangun (awal tahun 1924): Gedung PTT, sayap timur Gedung Sate, sekarang dipakai PT Kantor Pos. Kemudian dibangun gedung induk dan perpustakaan, selesai September 1924.
Pada zaman Hindia Belanda perpustakaan di Gedong Sate merupakan perpustakaan tehnik paling lengkap di Asia Tenggara. Haryoto Kunto menulis koleksi perpustakaan Gedong Sata saat itu terdiri dari buku dan arsip dari Departemen Pekerjaan Umum, Geologi, Metrologi dan Dinas Tenaga Air dan Listrik.
Pro Kontra
Meski pembangunan perkantoran pemerintah pusat, termasuk untuk militer, sedang berlangsung, menurut Haryoto Kunto, tetapi di DPRD-nya Provinsi Jawa Barat (Provincialen Raad van West Java) terjadi pro kontra mengenai pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung.
“Rapat Paripurna tanggal 16 Desember 1929 khusus membicarakan masalah perpindahan ibu kota,” tulis Haryoto Kunto (Balai Agung di Kota Bandung, Granesia, 1996). Kuncen Kota Bandung ini kemudian merangkum alasan yang pro dan yang kontra yang diterjemaahkan dari Secretarie-nota Het Provinciaat Blad nomer 6 tahun 1930.
Anggota dewan yang setuju (pro) Bandung dijadikan ibu kota Hindia Belanda mengemukakan Bandung letaknya sentral. Selain itu Bandung memiliki iklim yang nyaman, senyaman musim panas di Perancis Selatan. Keadaan iklim ini cocok bagi penduduk bangsa Eropa, khususnya bangsa Belanda.
Tingkat kematian di Bandung antara tahun 1919 hingga tahun 1929 rendah dibandingkan dengan tingkat kematian di Batavia. Tingkat kematian di Bandung tahun 1919: 25 permil dan di tahun 1929 menjadi 20 permil. Di Batavia, tahun 1919: 59 permi, dan di tahun 1929 menjadi 38 permil.
Bandung memiliki perguruan tinggi terkemuka (sekarang ITB) dan merupakan pusat para intelektual. Bandung memiliki lahan yang baik sehingga memungkinkan mengembangkan lingkungan yang indah dan nyaman. Bandung juga masih memiliki lahan yang luas untuk mengembangkan suatu kawasan pemerintahan yang anggun dan berwibawa.
Adapun yang tidak setuju (kontra) Bandung menjadi ibu kota Hindia Belanda mengatakan Bandung memang sentral untuk Jawa Barat (saat itu Jawa Barat meliputi Batavia dan Banten), tetapi tidak untuk seluruh Hindia Belanda. Dari segi iklim Batavia pun memiliki iklim yang baik dibandingkan dengan kota tropis lainnya di dunia.
Batavia bagian Selatan mempunyai lingkungan yang lebih sehat dan cukup berwibawa untuk dikembangkan sebagai pusat pemerintahan. Batavia juga memiliki perguruan dan intelektual yang lebih besar dari pada di Bandung. Bandung juga tidak memiliki hubungan interinsulair dan interkonental menyebabkan letak kedudukan Gubernur Jendral akan terisolir dari hubungan dalam dan luar negeri.
Terbengkalai
Haryoto Kunto menulis pemindahan ibu kota Hindia Belanda kemudian menjadi terbengkalai. Bukan karena terdapat pro kontra, tetapi karena situasi global saat itu. Intelejen Hindia Belanda pada awal tahun 1930 mencium rencana ekspansi Jepang ke Asia Tenggara. Maka anggaran Hindia Belanda dicurahkan untuk penguatan militer.
Keadaan itu ditambah dengan terjadinya malaise (krisi moneter) yang melanda Eropa pada tahun 1934 dan berimbas pada Hindia Belanda. Malaise mulai terasa pada tahun 1930, sehingga Hindia Belanda tidak memiliki dan yang cukup untuk memindahkan ibu kota dan lebih memperhatikan pembangunan militer.
Pada tahun 1939, tulis Haryoto Kunto, beberapa arsitek dan ahli planologi pada lokakarya di hari Planologi (Planologishe Day) 1 Juli, yang berlangsung di Villa Isola (sekarang dipakai kantor UPI) Bandung mempertanyakan dihentikannya proyek pemindahan ibu kota Hindia Belanda.
Rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda benar-benar ambyar saat Perang Dunia ke-2, dan Jepang merebut Nusantara pada tahun 1942. Pada zaman kemerdekaan, rencana Bandung jadi ibu kota negara dilupakan dan pembangunan Kota Bandung tidak lagi berdasarkan rancangan Hindia Belanda.
“Andai saja rancangan Hindia Belanda membangun perkantoran pemerintah pusat terwujud, akan sangat menomental sekali. Akan menjadi komplek perkantoran pemerintah pusat yang benar-benar anggun, berwibawa yang menyatu dengan keadaan alam dan lingkungannya,” kata Haryoto Kunto.
Gedong Sate saja yang baru 5 persen dari rencana pembangunan gedung instansi pusat pemerintah Hindia Belanda, sudah demikian mengagumkan, apalagi jika gedung perkantoran dan istana gubernur jenderal selesai dibangun. Gedung lainnya juga istana gubernur jendral pasti jauh lebih megah dari pada Gedung Sate.***
Oleh : Fusilat Jabar