Oleh : Karyudai Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews. – Pemanggilan dan pemeriksaan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai saksi untuk tersangka Harun Masiku oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (10/6/2024), merupakan suatu akrobat politik yang sangat tidak elok dipertontonkan oleh KPK.
“Hasto nyata-nyata dipanggil KPK sebagai saksi, dan hadir tepat waktu di KPK dalam kapasitas sebagai saksi. Karenanya, KPK harus menghormati dan memperlakukan Hasto sebagai saksi dengan segala haknya yang dilindungi oleh Pasal 5 dan Pasal 7 KUHAP dan oleh UU KPK (Undang-Undang No 19 Tahun 2019),” kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH dalam rilisnya, Selasa (11/6/2024).
Namun apa yang dihadapi oleh Hasto, ketika bertemu dengan penyidik KPK, kata Petrus, ternyata lembaga antirasuah itu menunjukkan sikap dan perilaku yang arogan, pemer kekuasaan bahkan memperlakukan Hasto sebagai seorang tersangka, karena KPK serta-merta melakukan upaya paksa dengan menyita handphone (HP) dan tas tangan milik mantan anggota DPR itu di luar prosedur hukum.
Saksi Mitra Penyidik
HP dan tas tangan milik Hasto, kata Petrus, dijadikan KPK seakan-akan sebagai bagian dari alat bukti permulaan yang cukup bagi penyidik dalam menetapkan Hasto sebagai tersangka. “Padahal Hasto adalah saksi, bukan tersangka. Karena itu, sesuai prinsip hukum acara tentang penyitaan terhadap suatu barang dari seseorang, maka barang itu harus merupakan hasil dari kejahatan atau alat untuk melakukan kejahatan serta dilakukan berdasarkan KUHAP dan ketentuan Pasal 46 dan Pasal 47 UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK,” jelasnya.
Apa yang dilakukan KPK, lanjut Petrus, jelas merupakan pelanggaran hukum yang serius terhadap prinsip KUHAP serta Pasal 46 dan Pasal 47 UU No 19 Tahun 2019, di mana penyidik memperlakukan Hasto sebagai tersangka dan mengabaikan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 7 KUHAP berikut penjelasannya, yaitu tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. “Artinya, apa yang dilakukan oleh KPK seharusnya tidak bertentangan dengan hukum, selaras dengan kewajiban hukum, patut dan masuk akal serta menghormati hak asasi manusia Hasto sebagai saksi,” tukasnya.
Padahal, tegas Petrus, sebagai seorang saksi yang keterangannya sangat diperlukan KPK, Hasto selayaknya diposisikan sebagai mitra penyidik KPK, terlepas dari apakah kemudian nanti KPK mau menjadikan Hasto sebagai tersangka.
“Secara prinsip hukum, hak Hasto sebagai saksi harus dihormati, karena dari Hasto KPK berharap memperoleh informasi dan bukti untuk membuat perkara menjadi lebih terang,” cetusnya.
KPK Tak Berwenang Sita
Menurut Petrus, hanya barang milik tersangka, atau barang yang digunakan oleh tersangka untuk melakukan tindak pidana korupsi atau barang hasil kejahatan korupsi yang dimiliki oleh tersangka, yang KPK dapat lakukan penyitaan di luar mekanisme KUHAP.
“Artinya, penyitaan itu cukup dilakukan dengan izin dari Dewas (Dewan Pengawas) KPK atau dapat dimintakan izin segera setelah penyitaan terjadi (Pasal 46 dan Pasal 47 ayat (3) dan ayat (4) UU No 19 Tahun 2019),” urainya.
Dalam kasus sita HP dan tas tangan milik saksi Hasto, Petrus menilai KPK justru melakukan sita tidak dari tangan Hasto , tapi dari seorang staf Hasto bernama Kusnadi, itu pun dengan cara menjebak.
“Ini adalah langkah ‘polticking’ (politisasi) KPK, nuansa politiknya sangat kental, antara lain untuk mempermalukan seorang Hasto dengan segala aktivitasnya selama ini, bahkan diduga kuat Hasto dijadikan tumbal politik balas dendam kekuasaan,” sindirnya.
“Kalau saja Hasto berdasarkan bukti permulaan yang cukup dinyatakan sebagai tersangka, kemudian lari bersama-sama Harun Masiku dan dinyatakan DPO (Daftar Pencarian Orang) maka sah-sah saja KPK menyita HP dan tas tangan milik Hasto di luar mekanisme KUHAP dan menggunakan mekanisme Pasal 46 dan Pasal 47 ayat (3) dan ayat (4) UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK,” lanjutnya.
Di sini, masih kata Petrus, KPK telah melakukan tindakan sewenang-wenang, mencampuradukkan wewenang dan melampaui wewenang, karena apa pun alasannya Hasto adalah saksi, bukan tersangka. “Namun tindakan KPK menyita HP dan tas tangan milik Hasto seolah-olah dia adalah tersangka berimplikasi kepada tindakan sita KPK menjadi tidak sah dan KPK harus segera mengembalikan HP dan tas tangan milik Hasto tanpa syarat,” pintanya.
“Implikasi hukum lainnya adalah KPK bisa digugat praperadilan dan gugatan perbuatan melawan hukum ke pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 66 UU KPK sejalan dengan KPK dilaporkan ke Dewas sebagai pelanggaran etik, semata-mata karena KPK tidak cermat membaca ketentuan Pasal 46 dan Pasal 47 UU KPK,” tandasnya.