Peran seorang pejabat daerah atau nasional dalam menjalankan tugas pemerintahan sejatinya telah diatur dalam aturan dan pembagian tanggung jawab yang jelas. Namun, di era pemerintahan yang menonjolkan blusukan atau turun langsung ke masyarakat, gaya yang dikenal sebagai “otak Solo” ini kembali hadir dengan Jokowi sebagai tokoh utama yang mempopulerkannya—sebuah pendekatan yang menekankan pendekatan langsung kepada masyarakat melalui interaksi spontan. Blusukan ini, yang seharusnya menjadi gaya khas seorang wali kota dalam melayani masyarakat langsung, ternyata justru terbawa hingga Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, bahkan terus dilanjutkan saat ia menjadi Presiden Republik Indonesia.
Blusukan pada masa kepemimpinan Jokowi sebagai wali kota Solo menjadi simbol kedekatan dengan masyarakat. Di Solo, pendekatan ini kerap berhasil karena cakupan wilayah yang lebih kecil, memungkinkan walikota untuk berinteraksi langsung dengan warga dan mengurus kebutuhan harian mereka. Inilah peran mendasar seorang wali kota: memfasilitasi, mengelola layanan publik, dan merespons langsung persoalan sehari-hari warga yang lebih praktis. Di tingkat ini, blusukan memang menjadi hal yang efektif dan mencerminkan pemimpin yang benar-benar ingin tahu situasi masyarakat di lapangan. Namun, dengan gaya yang sama dibawa ke level yang lebih besar, seperti pada jabatan gubernur atau presiden, pola ini menjadi rumit dan menimbulkan perdebatan terkait efektivitas dan keefisienannya.
Begitu Jokowi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, alih-alih fokus pada pembangunan wilayah yang lebih kompleks dan berskala luas, ia justru mengedepankan gaya blusukan yang seolah kembali ke “otak Solo” sebagai landasan pendekatan. Gubernur, berbeda dengan wali kota, memiliki tugas utama untuk mengelola wilayah secara keseluruhan, menyusun kebijakan pembangunan, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial. Dengan tetap menjalankan blusukan, Jokowi seolah ingin menampilkan gaya yang sama seperti ketika ia menjadi wali kota, bahkan hingga akhirnya saat menjabat sebagai presiden.
Sebagai kepala negara, Presiden memikul beban yang jauh lebih besar dan kompleks dari sekadar pertemuan langsung dengan masyarakat. Pemerintahan di tingkat nasional mencakup perencanaan kebijakan strategis, pembagian anggaran, serta koordinasi lintas lembaga. Namun, Jokowi tetap membawa gaya blusukan ini hingga level presiden, suatu pendekatan yang justru mengundang kritik sebagai gaya “populisme” tanpa arah yang jelas. Di tingkat nasional, presiden memiliki tugas utama untuk mengawasi dan memandu implementasi kebijakan yang sudah ditetapkan, bukan lagi turun tangan dalam hal-hal yang lebih operasional seperti pembagian sertifikat tanah atau bantuan langsung yang sifatnya temporer. Namun, dengan blusukan yang dilakukan Jokowi ini, penataan pemerintahan justru tampak kembali terfokus pada hal-hal kecil yang seharusnya dapat diserahkan kepada perangkat pemerintah lainnya.
Fenomena ini tampaknya juga turun ke generasi berikutnya. Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden, tampaknya mengikuti jejak sang ayah dengan blusukan yang intens di berbagai tempat. Gibran bahkan sering kali turun tangan membagi-bagikan bantuan langsung, suatu bentuk kegiatan yang seharusnya menjadi ranah tugas kepala daerah setempat atau bahkan lembaga sosial pemerintah. Meski menunjukkan keprihatinan dan kedekatan, blusukan semacam ini sering kali dikritik sebagai langkah yang tidak tepat sasaran dan berpotensi menjadi alat populisme tanpa dampak yang signifikan dalam jangka panjang.
Jika menilik dari perspektif hukum dan aturan tata kelola negara, ada pembagian jelas mengenai tugas presiden, gubernur, dan wali kota sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Peran presiden semestinya lebih pada fungsi strategis dan pengawasan makro, sementara peran operasional langsung lebih sesuai diemban oleh jajaran pemerintahan di bawahnya. Namun, kecenderungan “otak Solo” ini, yaitu membumikan setiap kebijakan lewat blusukan, justru menyulitkan pembentukan struktur pemerintahan yang efektif dan profesional.
Akhirnya, gejala “otak Solo” ini seolah menunjukkan bahwa banyak pemimpin, bahkan hingga level pusat, masih terpaku pada gaya kepemimpinan yang sangat bersifat personal dan tidak mengadopsi sepenuhnya fungsi institusi. Menjadi penting untuk mempertimbangkan sejauh mana peran blusukan dapat mengganggu fokus kepemimpinan dalam tugas-tugas besar yang telah diamanahkan undang-undang. Sebab, pemerintahan bukanlah soal popularitas pribadi, melainkan struktur yang harus berfungsi efektif dari pusat hingga daerah dengan peran yang telah ditetapkan.