Diskursus yang ada, dari para politikus partai-partai terkemuka, sepertinya mereka merasa nyaman dengan iklim permainan politik seperti sekarang ini. Akunya mengaplikasikan system Presidential tetapi praktik sesungguhnya sedang melaksanakan system parlementer yang tidak ajeg.
Jadilah chaos seperti sekarang.
Penerapan Parliamentary Threshold 4%, yang kini telah mendapatkan fatwa dari Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diubah pada Pemilu 2029, berarti upaya keras partai-partai politik untuk mencapai ambang batas tersebut telah gagal. Terutama bagi partai-partai yang memiliki perolehan suara rendah, mereka tidak dapat mendapatkan kursi di DPR yang terhormat.
Beberapa hari lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ambang batas DPR atau parliamentary threshold (PT) sebesar 4% harus diubah sebelum pelaksanaan Pemilu 2029. Keputusan MK ini ternyata disambut sejumlah partai politik dengan usulan-usulan lain.
Untuk diketahui, MK meminta mengubah aturan ambang batas karena menilai ketentuan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4% suara sah nasional yang diatur UU 7 tahun 2017 tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat. MK memerintahkan agar ambang batas DPR tersebut diubah sebelum pelaksanaan Pemilu 2029.
Ini pernyataan resmi atas nama Negara, yang menilai aturan tersebut salah, tetapi juga aturan itu, ingkar dari konsep system Presidential.
Dalam system Presidential, sesungguhnya “orang memilih orang”, tidak memilih partai. Sehingga keterwakilan atas nama partai di DPR RI, seperti adanya fraksi-fraksi, tidak berdasar. Seorang anggota DPR RI dalam system Presidential adalah mewakili dirinya, bukan fraksinya bukan pula wakil partainya.
Jadi fraksi-fraksi di DPR itu, keberadaannya tak berdasar. Ia bak anak tiri partai yang lahir secara tidak syah pula.
Hal ini menyebabkan terjadi adu kekuatan antara partai, sehingga terbentuklah isitilah koalisi partai-partai pendukung regime yang berkuasa – dan sisanya terbentuk koalisi oposisi parta-partai yang tidak mau bersama koalisi partai pendukung.
Begitulah system politik parlementer bekerja.
Lalu terjadilah yang makin lucu dan semakin parah, gagasan dari
Partai Solidaritas Indonesia. PSI adalah salah satu partai yang merespons putusan MK. Berbeda dengan partai lainnya, PSI mengusulkan agar parliamentary threshold diganti dengan fraksi threshold.
Adalah Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie yang mengusulkan opsi fraksi threshold sebagai pengganti parliamentary threshold. Grace Natalie awalnya menegaskan PSI bukanlah penggugat syarat ambang batas DPR yang baru-baru ini diputuskan MK. Grace merespons narasi di media sosial yang menarasikan putusan MK ini menguntungkan PSI.
Grace menyebut langkah yang dilakukan Perludem sudah tepat agar tak ada lagi suara rakyat yang terbuang imbas aturan PT 4%. Grace menyebut suara partai politik yang tidak lolos parlemen sangat signifikan apabila digabungkan.
“Kami mengapresiasi putusan tersebut dan upaya dari teman-teman Perludem agar tidak ada suara rakyat yang terbuang. Suara partai-partai nonparlemen kalau digabung sangat signifikan mencapai 9,79%,” kata Grace.
Grace menyebut syarat fraksi threshold lebih baik ketimbang parliamentary threshold. Grace menjelaskan apa itu fraksi threshold.
“Daripada parliamentary threshold lebih baik dibuat fraksi threshold. Yaitu kebutuhan suara minimum untuk membentuk 1 fraksi sendiri. Jadi suara rakyat tidak terbuang, namun untuk partai-partai yang suaranya tidak mencapai persentase tertentu, digabungkan dalam 1 fraksi,” ujar Grace Natalie.
Potret lain dari ketidak fahaman menjalankan system Presidential itu, adalah seperti Partai Demokrat juga punya usulan.
Demokrat Usul Syarat Kursi Sejumlah Komisi DPR.Hampir serupa dengan PSI, Partai Demokrat juga mengusulkan syarat baru threshold. Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief mengusulkan opsi syarat kursi sejumlah komisi di DPR.
“Keputusan MK soal penghapusan PT 4% dimulai 2029 sudah tepat, keadilan bagi suara rakyat. Pembatasan-pembatasan lainnya jika diperlukan bisa dibicarakan kemudian di parlemen 2023-2029. Ada banyak opsi yang baik,” kata Andi Arief
Andi Arief mengusulkan opsi partai yang lolos ke Senayan minimal mendapatkan kursi sesuai jumlah fraksi di DPR. Andi Arief menegaskan opsi ini hanya salah satu yang bisa diambil dan bisa dipikirkan pilihan lainnya.
“Jadi misalnya salah satu opsinya bukan persentase tapi jumlah kursi, jumlah kursinya itu minimal 1 fraksi, dari mana 1 fraksi? Dari jumlah komisi yang ada, jadi misalnya ada 11 komisi, ya minimal dapat 11 gitu kira-kira. Atau plus minus 1, macam-macam itu,” ucapnya.
Meski demikian, Andi Arief menegaskan harus ada pembatasan suara untuk masuk ke DPR.
“Kalau nggak diatur pembatasan suara, misalkan persentasenya, nanti dikhawatirkan akan muncul partai partai lokal, partai lokal yang hanya dapat 1 kursi di daerah bisa aja di nasional gitu, apa mau kombinasikan itu atau kita akan tolak itu?” ujar dia.
Lebih lanjut, Andi Arief juga mengusulkan agar pengurangan PT dibarengi dengan perubahan syarat pembentukan partai politik. Menurutnya, secara logika, jika persentase dikurangi, maka syarat partai politik juga harus dipermudah.
“Kemudian juga kalau persentase dikurangi maka persyaratan pembentukan partai juga harus dipermudah, jadi logikanya karena bukan lagi persentase maka syarat pembuatan partai juga harus dipermudah,” imbuhnya.