Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Sarjana Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Khusus untuk Bambang Soesatyo, kejanggalan paling mencolok adalah gelar Sarjana Strata 2 (S1) diperoleh lebih dulu daripada gelar Sarjana Strata 1 (S1). Ini sangat tidak lazim, bahkan merupakan kejadian luar biasa atau “extraordinary”.
Jakarta, Fusilatnews – Tujuan menghalalkan cara. Demi sebuah puncak kehormatan maka segala cara dihalalkan.

Itulah yang terjadi dengan mereka yang gila hormat, sehingga perlu mencari kehormatan, bahkan dengan cara tak terhormat. Maka berlakulah apa yang oleh antropolog Koentjaraningrat (1923-1999) disebut sebagai “mental terabas”. Atau mungkin krisis identitas?
Demi puncak kehormatan secara akademik, dengan cara culas dan main terabas mereka berburu gelar tertinggi di dunia akademik: Profesor/Guru Besar!
Demi puncak kehormatan secara spiritual, dengan memalsukan dokumen, misalnya, mereka berburu gelar tertinggi di dunia spiritual (Islam): Haji!
Demi puncak kehormatan secara budaya, dengan cara membayar, misalnya, meskipun bukan darah biru mereka berburu gelar kebangsawanan: Kanjeng Pangeran, misalnya!
Demikianlah. Dan saat ini yang sedang viral adalah berburu gelar kehormatan di dunia akademik: Profesor/Guru Besar.
Diberitakan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sedang menyelidiki pemerolehan gelar Guru Besar yang diduga dilakukan dengan cara lancung di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Tidak tanggung-tanggung, ada 11 Guru Besar yang sedang diselidiki.
Fenomena serupa terjadi di universitas-universitas lain. Bahkan ada pejabat publik yang diragukan gelar Profesor/Guru Besar-nya karena proses pemerolehannya sarat kejanggalan dan di luar kelaziman.
Sebut saja misalnya Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung Reda Manthovani, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2018-2023, Muhammad Afif Hasbullah, dan Ketua Harian DPP Partai Gerindra yang juga Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
Selain prosedurnya yang tidak biasa, mereka juga diduga menggunakan jurnal predator demi mendapatkan gelar Guru Besar yang ternyata tidak benar-benar besar karena cara yang mereka tempuh tidak “halal” (sah).
Khusus untuk Bambang Soesatyo, kejanggalan paling mencolok adalah gelar Sarjana Strata 2 (S1) diperoleh lebih dulu daripada gelar Sarjana Strata 1 (S1). Ini sangat tidak lazim, bahkan merupakan kejadian luar biasa atau “extraordinary”.
Lalu, apa itu jurnal predator? Ialah sebuah jurnal internasional yang dalam proses penerbitannya tidak melalui proses “review” dan penyuntingan dengan baik dan benar.
Jurnal ini sering kali memangsa para penulisnya dengan cara membebankan biaya publikasi dan berjanji manuskrip segera terbit.
Motif
Ada sejumlah hal yang patut diduga menjadi motif atau pemicu perburuan gelar janggal Guru Besar.
Pertama, motif politik. Motif ini berlaku terutama bagi para pejabat publik yang berkecimpung di dunia politik. Dengan bergelar Guru Besar maka posisi mereka sebagai pejabat publik akan kian mendapatkan legitimasi secara politik (dan moral).
Kedua, motif ekonomi. Motif ini terutama berlaku bagi mereka yang mengejar pendapatan. Maklum, tunjangan bagi Guru Besar mencapai Rp11 juta, sedangkan dosen biasa hanya Rp3-4 juta per bulan.
Ketiga, motif prestise. Motif ini terutama berlaku bagi mereka yang mengejar kehormatan secara sosial. Motif ini terkait dengan feodalisme.
Motif ini berlaku pula bagi mereka yang mengalami krisis identitas. Gelar Guru Besar menjadi identitas baru bagi mereka. Dengan identitas baru tersebut mereka lebih percaya diri.
Maka marak pulalah perburuan gelar doktor sebagai batu loncatan untuk meraih gelar Profesor. Pun gelar doktor honoris causa demi sebuah prestise.
Feodalisme dan Mental Terabas
Maraknya orang-orang yang berburu gelar Guru Besar secara culas mengindikasikan masih kentalnya budaya feodal atau feodalisme yang ada di Indonesia. Feodalisme merupakan budaya warisan pemerintah kolonial Belanda.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
Dikutip dari uns.ac.id, feodalisme adalah suatu sistem yang didasarkan pada penguasaan pemerintahan maupun perekonomian.
“Feod” sendiri berarti “tanah”. Dus, feodalisme bisa dimaknai sebagai kekuasaan aristokrasi atau kebangsawanan dalam sistem penguasaan tanah dan ekonomi di masyarakat.
Banyaknya orang yang berburu gelar Guru Besar dengan cara culas juga terkait dengan “mental terabas”.
“Mental terabas” adalah prodisposisi atau kecenderungan sikap dan tindakan seseorang mengambil jalan pintas dalam arti negatif atau melanggar norma untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompoknya.
Seseorang yang bermental terabas cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sebab, pikiran dan tindakan mereka memang cenderung menyimpang dari norma sosial (kebisaan, tata-laku, adat/hukum) yang berlaku.
Begitulah!