OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Ada literatur yang menyataksn, panen raya padi adalah kegiatan panen padi yang dilakukan secara besar-besaran dan terintegrasi, dengan menggunakan teknologi dan manajemen yang modern. Tujuan dari panen raya padi adalah untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas panen, serta mengurangi biaya produksi.
Bagi sebagian petani, panen raya padi, biasanya dilakukan dengan menggunakan mesin panen yang canggih, seperti combine harvester, yang dapat memanen padi dengan cepat dan efisien. Selain itu, juga digunakan teknologi seperti GPS dan sensor untuk memantau kondisi tanaman dan mengoptimalkan proses panen.
Panen raya padi memiliki beberapa kelebihan, antara lain meningkatkan efisiensi waktu dan biaya produksi;
meningkatkan kualitas hasil panen;
mengurangi kerugian akibat kehilangan hasil panen dan meningkatkan pendapatan petani. Namun, panen raya padi juga memiliki beberapa tantangan, seperti ketergantungan pada teknologi dan mesin; biaya investasi yang tinggi;
keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengoperasikan mesin dan teknologi.
Tidak lama lagi, kembali para petani padi akan memetik hasil panen Musim Tanam Ok-Mar 2025. Hanya dalam hitungan hari saja, di beberapa daerah, petani akan ramai-ramai turun ke sawah untuk memanen tanamannya. Panen adalah saat yang ditunggu-tunggu para petani. Waktu panen itulah, petani berharap akan mampu berubah nasib dan kehidupannya.
Adanya keputusan Pemerintah yang menegaskan tahun 2025, bangsa kita akan menyetop impor beras, tentu menarik untuk di dalami lebih lanjut. Kita berhak mempertanyakan, mengapa Pemerintah begitu percaya diri, kita tidal menempuh impor beras tahu ini ? Apa yang mendasari Pemerintah membewarakan kepada seluruh warga bangsa, Indonesia tidak akan impor beras untuk tahun 2025 ?
Apakah karena Pemerintah merasa yakin dengan cadangan beras yang dimiliki, mengingat menjelang selesainya tahun 2024, Pemerintah telah mengumumkan hampir mendekati angka 2 juta ton ? Atau karena Pemerintah cukup optimis, produksi padi para petani dalam negeri tahun ini akan melimpah, sehingga mampu berswasembada lagi ?
Kebijakan menyetop impor beras, saat produksi beras dalam negeri sedang menurun, betul-betul merupakan sikap politik yang patut diberi acungan jempol. Produksi beras nasional 2024 lalu, dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata lebih rendah jumlahnya dibanding dengan tahun 2023. Tahun 2023 sebesar 31,20 juta ton, sedangkan tahun 2024 hsnya sebesar 30,41 juta ton.
Bayangkan, jika produksi beras petani di dalam negeri menurun dan anjlok, karena adanya sergapan El Nino misalnya atau ada La Nina, maka pertanyaannya, dari mana kita akan memperoleh beras, selain dari melakukan impor ? Bukankah akan lebih keren, bila Pemerintah tidak perlu terlalu percaya diri akan kemampuannya dalam meningkatkan produksi beras dalam negeri ?
Sebetulnya, impor beras bukan sebuah kebijakan yang dilarang untuk ditempuh. Sah-sah saja jika Pemerintah akan mengimpornya. Sebab, dalam regulasi yang kita lakoni, impor beras telah dijadikan opsi untuk menguatkan ketersediaan beras di dalam negeri, manakala produksi petani dalam negeri dan cadangan beras Pemerintah, memang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri.
Selama ada alasan kuat untuk apa Pemerintah melakukan impor beras, maka selama itu pula, masyarakat tidak akan mempersoalkannya. Sebagai teladan, apa yang ditempuh Pemerintah dengan mengimpor beras lebih dari 4 juta ton tahun 2024, rakyat santai-santai saja menyikapinya. Bahkan ada yang senang, karena nyawanya tetap tersambung.
Bagi Pemerintah, panen raya merupakan momen yang sangat penting dan strategis, utamanya untuk mendukung terwujudnya swasembada pangan. Pemerintah optimis, bila sudah mampu menggapai swasembada beras, maka jalan meraih swasembada pangan telah mulai terbuka. Inilah salah satu pertimbangan, mengapa Pemerintah melahirkan Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional No. 2/2025.
Lewat Perkabadan ini, Pemerintah telah menugaskan Perum Bulog untuk menyerap gabah dan beras sebanyak-banyaknya dengan harga yang tidak merugikan petani. Selain itu, Perkabadan ini pun menetapkan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras menjadi Rp. 6500,- dan Rp. 12000,- per kilogram. Untuk gabah naik Rp. 500,- dan beras naik Rp. 1000,- dari yang selama ini diberlskukan.
Untuk itu, menjadi hal yang masuk akal, bila Perum Bilog terlihat begitu serius melaksanakan sosialisasi kenaikan HPP Gabah dan Beras ini. Harapannya jelas, supaya kenaikan HPP ini dapat diketahui petani, sehingga saat panen raya berlangsung, petani sudah memahami mengapa gabah yang dihasilkannya cenderung lebih rendah harganya dari HPP Gabah yang diumumkan Pemerintah.
Petani perlu tahu HPP Gabah senilai Rp. 6500,- per kg itu, jika petani dapat menghasilkan gabah berkadar air maksimal 25 % dan berkadar hampa maksimsl 10 %. Bila kadar air dan kadar hampanya lebih tinggi dari angka diatas, dapat dipastikan HPP Gabah akan lebih rendah dari Rp. 6500,- per kg. Inilah yang melahirkan opini harga gabah dibawah HPP yang ditetapkan.
Akhirnya ingin disampaikan, selain Pemerintah secara berkala menaikksn HPP Gabah dan Beras, tentu akan lebih afdol, bila Pemerintah pun melakukan Penyuluhan Pasks Panen kepada petani terkait dengan perbaikan kualitas habah yang dihasilkan petani. Hal ini perlu, karena tanpa ada perbaikan kualitas, petani tidak akan pernah merasakan kenikmatan dari naiknya HPP Gsbah itu sendiri. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).