Oleh: Damai Hari Lubis – Ketua Aliansi Anak Bangsa
Penulis adalah:
- Sekretaris Dewan Kehormatan DPP Kongres Advokat Indonesia (KAI)
- Mantan Ketua I Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang prestisius di Indonesia. Oleh karena itu, komisioner KPK semestinya adalah pakar hukum pidana yang berpengalaman dan memahami Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Para komisioner juga diharapkan menguasai praktik penanganan kasus korupsi dan menjalankan tugas mereka sebagai pejabat publik dengan integritas.
Artikel ini membahas situasi hukum yang dihadapi Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, yang kini berstatus tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi terkait Harun Masiku—seorang buronan (DPO) yang juga melibatkan mantan anggota KPU, Wahyu Setiawan. KPK telah mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik/152/DIK.00/01/12/2024, tanggal 23 Desember 2024, yang secara resmi menetapkan Hasto sebagai tersangka.
Pertentangan Hukum dan Etika Partai
Mengacu pada AD/ART PDIP serta kode etik partai, setiap pelanggaran etik atau disiplin internal seharusnya diawali dengan pengaduan resmi kepada Dewan Kehormatan Partai. Dalam kasus ini, jika tidak ada pengaduan dari pihak terkait, seperti Harun Masiku, maka secara hukum tidak dapat dianggap terjadi pelanggaran etik. Dengan demikian, dasar hukum untuk menjerat Hasto dengan pasal gratifikasi menjadi dipertanyakan.
Namun, KPK telah mengenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, serta Pasal 13 UU Tipikor kepada Hasto, yang terkait dengan dugaan gratifikasi. Selain itu, KPK melalui Ketua Setyo Budiyanto menyatakan kemungkinan penjeratan Hasto dengan Pasal 21 UU Tipikor tentang obstruction of justice. Pernyataan tersebut disampaikan melalui media, termasuk Tempo, dengan narasi yang dinilai intimidatif.
Ketidaksesuaian Pasal Obstruction of Justice
Dalam sistem hukum Indonesia, pasal tentang obstruction of justice hanya berlaku dalam konteks pemberantasan korupsi, bukan gratifikasi. Pasal ini tercantum dalam Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 12A, 12B, dan 12C UU Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karena itu, penerapan Pasal 21 terhadap kasus Hasto dianggap tidak tepat.
Langkah Hukum yang Dapat Diambil Hasto Kristiyanto
Hasto sebagai korban kriminalisasi memiliki beberapa opsi hukum:
- Melaporkan Setyo Budiyanto ke Bareskrim Mabes Polri
Dengan menggunakan pasal-pasal terkait fitnah dan ujaran kebencian, yaitu:- Pasal 310 KUHP
- Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023
- Pasal 311 KUHP
- Pasal 28 UU ITE
- Pasal 156 KUHP
- Melaporkan Setyo Budiyanto ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK
Pengaduan ini dapat dilayangkan atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etik oleh Ketua KPK.
Kesimpulan
Dalam kasus ini, muncul persepsi bahwa KPK telah memanipulasi pasal hukum demi mengkriminalisasi Hasto. Hal ini menimbulkan dugaan adanya malapraktik dan anomali dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi KPK. Tindakan tersebut, jika terbukti, mencederai kepercayaan publik dan prinsip akuntabilitas hukum. Hasto Kristiyanto memiliki hak hukum untuk mempertahankan dirinya dan menuntut keadilan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.