Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
(Soal teknis proses pemberhentian adalah tanggung jawab DPR RI, MK, dan MPR RI)
Kesalahan yang dialami oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebagai bagian dari kabinet Presiden Jokowi terkait kebocoran data penting negara, baik akibat kelalaian (culfa) maupun kesengajaan (dolus) dari siapapun pelakunya, membawa beban tanggung jawab moral terakhir kepada Presiden. Sesuai dengan hukum administrasi negara, Presiden sebagai pimpinan kabinet dan kepala pemerintahan tertinggi bertanggung jawab atas kebocoran rahasia negara tersebut.
Berdasarkan Pasal 7A, 7B, dan 24C ayat (2) UUD 1945, pejabat yang dapat di-impeach adalah:
1. Presiden;
2. Wakil Presiden;
3. Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sehingga, menurut UUD 1945, Presiden RI harus diberhentikan atau mengundurkan diri jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, karena dianggap tidak cakap.
Adapun mengenai proses atau teknis impeachment, tetap mengikuti rule of law yang diatur dalam UUD 1945 dan UU MD3, yaitu MPR yang bertugas memberhentikan Presiden RI harus melalui proses DPR RI dan MK.
Oleh karena itu, hukum impeachment terhadap seorang presiden merupakan perintah undang-undang tertinggi yang tidak memiliki batasan waktu, berdasarkan materi pelanggaran yang dilakukan oleh seorang presiden akibat ketidakcakapan atau ketidakmampuan dalam mengemban amanah rakyat.
Impeachment dapat dilakukan kapan saja, selama presiden masih menjabat, bahkan jika masa tugasnya tinggal satu hari lagi. Implikasi sejarah hukumnya tentu berhubungan dengan hasil kinerja sang presiden.
Filosofi hukumnya berdasarkan logika sistem konstitusi yang dianut negara RI adalah: Presiden yang cacat konstitusi tidak diperbolehkan menyelesaikan masa tugasnya. Terlebih lagi, menurut catatan publik, Presiden Jokowi telah melakukan berbagai pelanggaran konstitusi dan gagal memenuhi janjinya (du contrat social) sebagaimana diatur dalam TAP MPR RI No. 6 Tahun 2001.