Terpilihnya Prabowo dan Gibran sebagai presiden dan wakil presiden ternyata menciptakan ketakutan pasar, hal ini ditunjukkan oleh Sejumlah investor asing yang ramai-ramai lakukan aksi jual obligasi Surat Utang Negara (SUN) karena adanya kekhawatiran perkembangan kinerja neraca transaksi berjalan Indonesia di masa depan
Indonesia jika ditinjau dari populasinya dan sumberdaya ekonominya, bisa dikatakan sebagai raksasa ekonomi masa depan.
Saat ini, Indonesia merupakan kekuatan ekonomi terbesar ketujuh di dunia dengan paritas daya beli.[1]
Jika pertumbuhan ekonomi secara konsisten solid maka para analis berpendapat Indonesia bisa menjadi ekonomi terbesar kelima di dunia pada tahun 2030 dan keempat segera setelahnya.[2]
Berdasarkan nilai tukar pasar, Indonesia menempati urutan ke-16 di dunia tetapi kemungkinan akan masuk sepuluh besar pada tahun 2030.[3]
Namun ketakutan akan ketidakstabilan keuangan akibat salah urus negara, ketidakpercayaan pasar global paska pemilihan presiden yang memuncukan pasangan calon presidem /wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Gbran Rakabuning Raka disambut oleh merosotnya nilai rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat.
Terpilihnya Prabowo dan Gibran sebagai presiden dan wakil presiden ternyata menciptakan ketakutan pasar, hal ini ditunjkkan oleh Sejumlah investor asing yang ramai-ramai lakukan aksi jual obligasi Surat Utang Negara (SUN) karena adanya kekhawatiran perkembangan kinerja neraca transaksi berjalan Indonesia di masa depan
Akibatnya Rabu 17/4/2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) semakin terpuruk pada angka yang mencemaskan, Rp16.,500 per 1 USD. penurunan tentu sangat mengkhawatirkan karena melebihi 2% dalam kurun waktu yang singkat.
Namun, yang lebih membuat kekhawatiran adalah penjelasan dari Bank Indonesia (BI) yang mengkambinghitamkan serangan rudal Iran terhadap Israel dan ancaman meningkatnya eskalasi .
Padahal seperti dijelaskan dalam paragraph diatas merosotnya nilai rupiah akibat adanya ketakutan para investor asing dengan melakukan aksi jual obligasi Surat Utang Negara (SUN) sehingga mendorong meningkatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,
Jadi bukan karena ancaman meningkatnya eskalasi perang Iran – Israel seperti yang dijelaskan oleh Bank Indonesia, Karena trend merosotnya nilai rupiah terhadap dolar AS sudah terjadi sejak akhir bulan lalu bahkan jauh sebelum Israel membom konsulat Iran di Damaskus Suriah
Padahal Penyakitnya adalah Pertumbuhan ekonomi yang rendah, tekanan pada APBN akibat defisit anggaran yang semakin memburuk sebagai akibat adanya program makan siang gratis berbiaya Rp 450 triliun.
Rendahnya daya saing dibanding dengan negara ASEAN lainnya. membuat trend ekonomi nasional ini dalam jangka panjang sangat mengkhawatirkan.
Potensi kebangkrutan ekonomi nasional sudah nampak dipermukaan, ini semakin dipertegas memburuknya problem struktural. yang meliputi utang semakin membengkak, saat ini sudah mencapai Rp8.319,2 triliun per 29 Februari 2024. Jumlah ini naik dari posisi akhir Januari, senilai Rp8.253,09 triliun atau bertambah Rp66,13 triliun dalam kurun waktu satu bulan. Utang pemerintah ini setara dengan 39,06% produk domestik bruto (PDB) dan melanjutkan tren tertinggi sepanjang masa. Tingginya angka utang membuat beban pembayaran bunga dan cicilan utang ditengah menurunnya ekspor kita akan semakin berat, membuat kemampuan negara untuk membiayai pembangunan semakin memburuk.
Menurunnya pendapatan negara dari pajak dan bukan pajak menyebabkan ruang fiskal semakin menyempit yang bermuara menuju membengkaknya defisit anggaran.
Memahami mengapa pertumbuhan macet dan apa yang perlu dilakukan adalah masalah ekonomi kritis yang dihadapi Indonesia saat ini.
Lingkungan ekonomi global akan semakin sulit, ditengah kondisi likuiditas yang semakin ketat dan risiko meningkatnya proteksionisme.
Pada saat yang sama presiden Jokowi fokus pada infrastruktur, sedangkan reformasi fiskal, dan peningkatan iklim bisnis secara luas yang dibutuhkan ekonomi untuk merangsang pertumbuhan ternyata tak diimplementasikan.
Akibatnya Program Jokowi hanyalah program diatas kertas yang sama saja dengan tidak ada. Akibat selanjutnya ekonomi sebagian besar menjadi tidak responsif..
Apa yang terjadi jika Indonesia gagal bayar utang yang jatuh tempo
Hingga akhir Februari 2024, posisi utang Pemerintah Indonesia sebesar Rp8.319,2 triliun per 29 Februari 2024. atau setara 39,06% produk domestik bruto (PDB) dan melanjutkan tren tertinggi sepanjang masa.
Utang jatuh tempo pemerintah pada 2024 mencapai Rp 663 triliun, naik dari tahun 2023 yakni sebesar Rp 601 triliun melonjak dibanding utang jatuh tempo pada tahn 2022 Rp 443,8 triliun.
Yang paling menyedihkan meningkatnya pembayaran bunga dan cicilan utang tidak membuat utang kita semakin berkurang justru semakin membengkak, Artinya pemerintah melakukan galih lubang untuk menutup lubang. Tentu saja ini sangat tidak sehat bagi kondisi fiskal kita.
Masalahnya potensi kegagalan melunasi cicilan dan bunga utang masih menghantui ekonomi kita. Penyebab yang sangat mendasar yaitu struktur ekonomi yang masih berbasis industri substitusi impor dan semakin memburuknya sumbangan sektor pertanian terhadap PDB. Struktur utang kita, terutama utang corporasi juga mengkhawirkan. Utang luar negeri Indosat dan Telkom misalnya 100 persen dalam bentuk valuta asing sedangkan cash inflow-nya 100 persen dalam bentuk IDR. Tentu saja akan membebani nilai tukar IDR karena terbatasnya cadangan devisa milik Bank Indonesia.
Rendahnya lokal konten pada industri kita membuat permintaan valuta asing meningkat disaat tingkat konsumsi nasional meningkat, selanjutnya tingkat produksi meningkat, ini mendorong impor bahan baku meningkat tajam yang berujung pada meningkatnya harga valuta asing yang dibutuhkan untuk impor bahan baku. Semua ini tentu saja menguras cadangan devisa Bank Indonesia sedangkan orientasi industri ini pasar domestik bukan pasar global yang menghasilkan devisa hasil ekspor.
Meningkatnya permintaan valuta asing untuk membayar cicilan dan bunga utang corporasi nasional dan untuk kebutuhan impor bahan baku industri kita, tentu saja menciptakan ketidakseimbangan pada neraca perdagangan internasional kita, yang berujung pada tekanan neraca pembayaran internasional kita. Jika kondisi ini tak diperbaiki melalui peningkatan ekspor kita maka potensi kegagalan membayar cicilan dan bunga utang yang jatuh tempo suatu saat akan benar – benar terjadi.
Jika sampai terjadi gagal bayar cicilan dan bunga utang jatuh tempo maka situasi ekonomi akan lebih buruk dari krisis ekonomi 1998 bahkan lebih buruk dari kebangkrutan ekonomi Yunani tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi menjadi negatif akibat melonjaknya harga kebutuhan pokok rakyat yang berujung jatunya tingkat konsumsi yang selanjutnya produksi terseret jatuh disusul oleh PHK massal disektor industri, angka pengangguran melonjak, muncul jutaan orang miskin baru yanng hidup terluntah – luntah seperti di Yunani tahun 2015.
Yunani beruntung dengan cepat pulih karena diselamtkan oleh Uni Eropa. Kalau Indonesia siapa yang menyelamatkan? IMF dan Bank Dunia lagi? Apa jaminannya? Kedaulatan kita sebagai bangsa Indonesia tergadaikan. Kalau itu terjadi semua kebijakan negara terutama kebijakan ekonomi bakal didikte oleh dua lembaga keuangan multilateral raksasa itu. Dan berdasarkan pengalaman kita, juga pengalaman negara – negara lainnya baik di Asia, Afrika dan Amerika latin termasuk pengalaman kita sendiri pada tahun 1998 justru membuat ekonomi kita semakin terpuruk dan hidup rakyat kecil semakin sengsara.
Begitulah yang terjadi jika kita sampai gagal bayar utang. Pujian – pujian lembaga ekonomi multilateral yang dipaparkan pada pada paragraph pertama diatas tak lebih dari gelumbung bui di lautan luas
==========
Referensi
[1] IMF, World Economic Outlook, April 2018 database, https://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2018/01/weodata/index.aspx.
[2] Pricewaterhouse Coopers, “The Long View: How Will the Global Economic Order Change by 2050?”, February 2017, https://www.pwc.com/gx/en/world-2050/assets/pwc-world-in-2050-summary-report-feb-2017.pdf.
[3] Pricewaterhouse Coopers, for instance, projects Indonesia will be ninth largest by 2030. Ibid, 12.