Oleh, Airahidis
Sistim hukum Negara RI/NRI tidak mengatur bahwa seorang presiden yang berkuasa atau pernah berkuasa dapat mewariskan jabatannya kepada anak kandungnya atau kepada orang yang Ia tunjuk.
Dan, konstitusi NRI juga tidak mengatur perihal jabatan publik yang dapat dipindah tangankan secara hibah atau testament kepada sebuah pihak atau siapapun individu-individu dimaksud.
Peralihan kekuasaan atau jabatan presiden tidak bisa digadai dengan ilustrasi sebagai sebuah objek benda/barang tak bergerak yang oleh pemiliknya/ pledger digadaikan kepada pemilik gadai melalui penyerahan dalam bentuk uang atau emas dengan nominal tertentu, serta tercatat melalui sebuah perikatan.
Adapun nomenklatur objek gadai berbentuk tanah sawah yang menghasilkan padi atau beras yang dapat dikonsumsi pemilik gadai atau hasilnya dijadikan uang hasil dari transaksional atau jual beli hasil tanah sawah (objek gadai).
Kemudian, objek akan kembali dalam penguasaan pledger, jika objek gadai ditebus oleh pemilik objek gadai kepada pemilik gadai sesuai nominal gadai dan sesuai masa perikatan/ isi perjanjian ATAU jika tidak ditebus dalam jangka 8 tahun oleh pemberi hak gadai/ pledger, maka penerima gadai harus menyerahkan barang/objek gadainya kepada penggadai/ pledger. Hal ini umumnya berlaku dalam kehidupan hukum adat atau kebiasaan di P. Jawa (Suku Jawa dan Suku Sunda). Berdasarkan asumtif dan estimasi dari sisi ekonomi, “bahwa Penerima gadai sudah tertebus dengan sendirinya oleh sebab dari hasil panen padi dan beras atau jual beli dari hasil objek gadai (sawah) selama 8 tahun sudah dinikmati oleh penerima gadai berikut hasil keuntungannya.
Terlebih, terkait masa gadai 8 tahun ini terdapat yurisprudensi, sehingga menjadi hukum yang mengikat terhadap bangsa ini, “bahwa setelah lebih dari 7 tahun tanah garapan atau tanah gadai harus dikembalikan kepada pemiliknya.”
Namun analogi hukum adat ini, tidak berlaku pada sistim hukum NRI terhadap jabatan yang berdasarkan elektoral pemilu pilpres.
Andai pun kemenangan yang diraih Prabowo selaku Presiden RI atas “cawe-cawe” Jokowi dalam Pilpres 2024. Maka Prabowo tidak memiliki kewajiban balas jasa kepada Jokowi, dengan “kompensasi jabatan presiden” untuk Gibran selaku anak kandung Jokowi atau kepada sosok lain yang ditunjuk oleh Jokowi.
Jika pun ada dalam bargaining politik, baik lisan atau dibawah tangan atau sekalipun melalui akte otentik antara Jokowi dengan Prabowo, saat Prabowo menjadi Menhan atau pra pilpres 2024 kepada Jokowi selaku atasan, maka kualitas hukum terhadap kesepakatan bargaining dimaksud, merupakan perjanjian yang tidak beritikad baik, karena inkonstitusional atau pengikatan yang melawan hukum.
Sehingga perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum serta tidak berharga menurut hukum, justru wajib diabaikan oleh Prabowo Subianto selaku Presiden RI 2024-2029. Terkecuali hanya melalui langkah merujuk konstitusi atau ketentuan sistim hukum yang berlaku.