Di tengah hiruk-pikuk politik nasional, satu pertanyaan mendesak harus terus kita suarakan: apakah Jokowi akan lolos dari jerat hukum setelah masa jabatannya berakhir? Sejarah telah menunjukkan bahwa kekuasaan yang disalahgunakan tanpa pertanggungjawaban hanya akan melanggengkan kejahatan politik. Oleh karena itu, upaya untuk memenjarakan Jokowi bukan sekadar tuntutan emosional, melainkan sebuah kewajiban demi keadilan dan perbaikan bangsa.
Rezim yang Penuh Manipulasi dan Kepentingan Pribadi
Sejak awal pemerintahannya, Jokowi telah menunjukkan bahwa ia bukan pemimpin yang berpihak pada rakyat, melainkan seorang aktor politik yang lihai memainkan strategi oligarki demi kepentingan diri dan kelompoknya. Isu-isu seperti korupsi yang merajalela, nepotisme yang semakin terang-terangan, serta pemaksaan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan anggaran yang tidak masuk akal adalah bukti nyata betapa kekuasaannya disalahgunakan.
Sebagaimana laporan terbaru yang mengungkap anggaran upacara 17 Agustus di IKN mencapai Rp 87 miliar—jauh lebih mahal dibandingkan upacara di Jakarta tahun lalu yang ‘hanya’ Rp 53 miliar—kita melihat bagaimana proyek ini tidak lebih dari ajang bancakan dana negara. Publik layak bertanya: siapa yang diuntungkan? Ke mana aliran dana sesungguhnya? Bukankah ini bagian dari skenario besar untuk menguras APBN demi kepentingan segelintir elite?
Pelanggaran Konstitusi dan Pengkhianatan Demokrasi
Selain kasus-kasus korupsi, Jokowi juga harus bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran konstitusi yang dilakukannya. Salah satu yang paling mencolok adalah perannya dalam mengatur Pilpres 2024 demi memastikan kepentingan politiknya tetap terjaga. Manipulasi Mahkamah Konstitusi yang akhirnya meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden bukanlah kebetulan. Ini adalah bentuk nyata bagaimana hukum dipermainkan demi dinasti politik.
Belum lagi dugaan keterlibatan Jokowi dalam intervensi KPK yang berujung pada pelemahan lembaga antikorupsi tersebut. Sejak revisi UU KPK yang dilakukan pada 2019, lembaga ini kehilangan taringnya dalam memberantas korupsi, dan puncaknya adalah pemecatan 57 pegawai KPK yang kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Apakah semua ini hanya kebetulan? Atau ada skenario besar yang telah disiapkan untuk memastikan Jokowi dan lingkarannya kebal hukum?
Menjadikan Jokowi Tahanan Politik Demi Keadilan
Memenjarakan Jokowi bukan sekadar balas dendam politik, melainkan langkah konkret untuk memulihkan demokrasi yang telah dirusak oleh rezimnya. Dalam sejarah, para pemimpin yang terbukti merusak sistem negara harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Indonesia tidak boleh menjadi pengecualian.
Beberapa preseden internasional menunjukkan bahwa mantan kepala negara bisa dijerat hukum atas pelanggaran yang mereka lakukan. Di Korea Selatan, Park Geun-hye dijebloskan ke penjara atas skandal korupsi. Di Brasil, Lula da Silva sempat dipenjara karena dugaan suap dan pencucian uang. Jika negara-negara lain bisa menegakkan keadilan bagi rakyatnya, mengapa Indonesia tidak?
Maka, rakyat dan aparat hukum harus terus mengawal proses ini. Semua bukti yang mengarah pada kejahatan politik dan ekonomi Jokowi harus dikumpulkan dan dibawa ke ranah hukum. Tidak boleh ada kompromi, tidak boleh ada pengampunan. Sejarah akan mencatat apakah bangsa ini berani menuntut keadilan atau justru membiarkan seorang pemimpin yang telah merusak sistem hukum dan demokrasi berjalan bebas tanpa konsekuensi.
Jokowi tidak boleh lolos. Jika hukum benar-benar ditegakkan, maka penjara adalah tempat yang layak bagi seorang pemimpin yang telah mengkhianati amanah rakyat.