Oleh : Jaya Suprana
8 Januari 2022 terberitakan bahwa Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengungkap keluhan bahwa ratusan aparat kepolisian secara khusus datang ke Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.
Tambang Adesit
Staf Divisi Kampanye dan Jaringan LBH Yogyakarta, Dhanil Al Ghifary menyebut ratusan aparat masuk dengan membawa senjata lengkap melakukan penyisiran dan menurunkan banner protes penolakan penambangan batu andesit untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener yang diyakini akan merusak lingkungan hidup desa Wadas. Polisi juga menangkap warga secara paksa di warung kopi sekitar pukul 07.00 WIB. Internet di Wadas sempat tidak berfungsi sehingga para warga kesulitan untuk mengabarkan kondisi di sana melalui medsos. Selain itu ratusan aparat sudah berkumpul, bahkan mendirikan tenda-tenda di lapangan belakang bersenjata lengkap dengan tameng beserta anjing untuk mengawal pengukuran tanah. Kedatangan Polisi kali ini kembali memicu trauma warga yang sebelumnya sudah pernah terlibat bentrok dengan aparat. Apalagi pemberitahuan akan dilakukan pengukuran tanah disampaikan secara mendadak pada saat Subuh hari yang sama dengan hari pengukuran.
Sebelumnya warga Wadas sudah melakukan penolakan terhadap penambangan batu andesit di kawasan lingkungan permukiman mereka serta kerap mendapat tekanan dari aparat kepolisian.
Konflik agraria
Apabila keluhan LBH Yogyakarta bukan hoax dan/atau tidak berlebihan, maka dapat disimpulkan bahwa apa yang terjadi di dewa Wadas merupakan satu di antara sekian banyak konflik agraria yang terjadi di Indonesia masa kini. Pada hakikatnya pengukuran tanah sebagai bagian dari penggusuran secara paksa dengan pengawalan ratusan aparat kepolisian tidak sesuai dengan agenda Pembangunan Berkelanjutan yang telah disepakati oleh para negara anggota PBB termasuk Indonesia sebagai pedoman pembangunan infrastruktur tanpa merusak lingkungan dan menyengsarakan manusia. Berulang kali Presiden Jokowi telah menegaskan tidak setuju penggusuran, sebab di masa kanak-kanak beliau telah tiga kali mengalami penderitaan akibat digusur atas nama pembangunan kota Solo. Hanya mereka yang pernah digusur yang paling mampu merasakan derita digusur. Yang belum pernah merasa derita digusur lazimnya gagal paham kenapa ada rakyat yang menolak digusur apalagi atas nama pembangunan demi “kepentingan umum”. Pada hakikatnya penggusuran secara paksa terhadap tanah yang telah menjadi permukiman rakyat tidak selaras makna adiluhur yang terkandung di dalam sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Apalagi mengingat bahwa di alam demokrasi pemerintah dipilih oleh rakyat, maka sudah selayaknya bahkan sewajibnya pemerintah yang dipilih oleh rakyat bukan menggusur, namun justru wajib menghormati, maka wajib melindungi hak asasi rakyat atas permukiman mereka. MERDEKA!
Sumber : Kompas.com