Oleh : Damai Hari Lubis – Aktifis Mujahid 212
Perilaku Jimly Asshiddiqie, ayah dari salah satu direksi BUMD DKI Jakarta, dianggap mengeluarkan opini hukum yang blunder terkait sidang gugatan PTUN No. 133/G/TF/2024/PTUN.JKT. yang diajukan oleh Megawati Soekarnoputri terhadap KPU RI. Opininya diklaim mengandung unsur intervensi dan intimidasi terhadap majelis hakim, khususnya terkait posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden terpilih. Ini menimbulkan kegaduhan publik, dan bukan sekadar opini hukum biasa (amicus curiae). Opini tersebut, yang menyimpang dari tugas dan fungsi hakim menurut UU Kekuasaan Kehakiman, bisa berujung pada laporan hukum terhadap Jimly.
Spekulasi beredar bahwa Jimly mungkin takut pada Jokowi, ayah Gibran, atau merasa terikat oleh keputusan yang melibatkan Anwar Usman, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang diberhentikan oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK). Jimly, yang sebelumnya merupakan anggota MKMK, dinilai tidak mendorong KPU untuk menolak pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden. Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa Jimly takut dianggap berkhianat oleh Jokowi dan kroninya.
Jimly dinilai telah melakukan tindakan tidak patut, menyebarkan opini hukum yang tendensius dan berpotensi memutarbalikkan fakta hukum. Menurut SEMA No. 9 Tahun 1976, hakim tidak dapat dipidana atau digugat secara perdata atas keputusan yang dibuatnya, sehingga pendapat Jimly berisiko melanggar prinsip-prinsip hukum tersebut.
Oleh karena itu, jika ada pihak yang melaporkan Jimly karena dugaan penyebaran informasi yang memutarbalikkan hukum dan intimidasi terhadap hakim PTUN, Jimly berpotensi menghadapi ancaman hukuman. Sistem hukum di Indonesia menjunjung asas kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), yang berarti setiap warga negara, termasuk Jimly, bisa diproses hukum jika terbukti melakukan pelanggaran.