Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Berbagai indikasi menunjukkan bahwa Prabowo Subianto mulai “mengeksekusi” kebijakan-kebijakan penting yang merupakan warisan Jokowi. Langkah-langkah politik, ekonomi, dan hukum yang diambilnya semakin mempertegas bahwa Prabowo perlahan namun pasti mengikis pengaruh pendahulunya.
Namun, mayoritas rakyat tampaknya masih belum sepenuhnya menyadari implikasi dari langkah-langkah ini. Prabowo terus mempertontonkan “kesetiaan kamuflasenya” kepada Jokowi, bolak-balik menghadap mantan presiden tersebut. Bahkan, pada Senin, 10 Februari 2025, dalam Kongres ke-XVIII Muslimat NU di Jatim Expo, Surabaya, Prabowo menegaskan bahwa upaya memisahkannya dari Jokowi adalah sesuatu yang “lucu”. Ia juga mengungkapkan bahwa Jokowi adalah sosok yang memperkenalkannya kepada Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur terpilih 2024—pernyataan yang langsung dikonfirmasi oleh Khofifah dengan anggukan kepala.
Namun, sejarah politik sering kali penuh ironi. Bagaimana jika nantinya KPK yang dipimpin oleh figur-figur baru justru memproses kasus hukum Khofifah yang mengendap sejak 4 Juni 2024? Kasus ini berkaitan dengan dugaan penyimpangan saat ia menjabat sebagai Menteri Sosial periode 2014–2018. Jika hal ini terjadi, maka akan muncul pertanyaan: apakah hukum akan menciptakan kejutan yang mengecewakan atau justru memberikan keadilan yang tak terduga?
Sementara itu, langkah-langkah Prabowo dalam membatalkan kebijakan-kebijakan era Jokowi semakin kentara. Ia menolak Program TAPERA, menghalangi proyek strategis nasional (PSN) di PIK 2, serta membongkar praktik penguasaan lahan di Pantai Utara Pulau Jawa, Tangerang, yang melibatkan para taipan oligarki. Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN untuk menghentikan proyek ini menunjukkan bahwa ada tekanan publik yang cukup besar, terutama dari aktivis vokal. Fakta bahwa ratusan HGB dan belasan SHM diterbitkan secara manipulatif, serta dugaan bahwa beberapa kawasan yang sejatinya merupakan laut telah dijual kepada pihak asing, memperkuat asumsi bahwa oligarki masih berperan besar dalam dinamika kekuasaan di era Jokowi.
Di sisi lain, masyarakat masih menunggu perkembangan lebih lanjut terkait kemungkinan proses hukum terhadap Jokowi. Tidak hanya penulis yang berpendapat bahwa Jokowi layak dijatuhi hukuman seumur hidup tiga kali atau bahkan hukuman mati, tetapi pandangan serupa juga pernah disampaikan oleh Abdullah Hehamahua, mantan penasihat KPK. Menurutnya, berdasarkan Pasal 2 Jo. Pasal 3 UU Tipikor, Jokowi dapat dijatuhi hukuman mati atau setidaknya dipenjara hingga 70 tahun.
Seruan “Adili Jokowi” telah menggema di berbagai daerah, menunjukkan bahwa keresahan publik terhadap berbagai dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan Jokowi masih sangat tinggi. Namun, respons yang muncul justru pengalihan isu, mulai dari penetapan status tersangka terhadap Hasto Kristiyanto hingga publikasi video-video tak relevan seperti Jokowi menaiki motor atau menandatangani motor.
Kini, pertanyaan besar yang tersisa adalah: akankah Prabowo benar-benar menegakkan hukum sesuai dengan janji yang ia lontarkan? Sebagai Presiden RI, ia memiliki kewajiban untuk memastikan supremasi hukum ditegakkan. Untuk itu, rakyat harus memberikan tekanan moral yang lebih besar kepada Prabowo, bahkan melebihi tekanan yang saat ini diberikan terhadap PSN PIK 2. Hukum yang tertinggi adalah keadilan, sesuai adagium salus populi suprema lex esto—keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Maka, jika hukum benar-benar ingin ditegakkan, tidak cukup hanya dengan retorika. Dibutuhkan aksi nyata yang menunjukkan bahwa kejahatan hukum di era Jokowi telah merugikan kepentingan nasional. Implementasi hukum harus mencerminkan tiga pilar utama: kepastian hukum (legality), manfaat hukum (utility), dan keadilan hukum (justice). Tanpa itu, keadilan hanya akan menjadi ilusi belaka.
Baca : https://fusilatnews.com/prabowo-vs-oligarki-pertarungan-di-balik-janji-politik-gelap/