FusilatNews – Setiap tahun, menjelang Ramadan dan Idul Fitri, pemerintah melalui Kementerian Agama menggelar sidang isbat untuk menetapkan awal bulan hijriah. Sidang ini melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi Islam, pakar astronomi, serta perwakilan pemerintah. Namun, di balik proses ini, muncul pertanyaan besar: apakah sidang isbat benar-benar diperlukan, terutama jika mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan?
Anggaran untuk sidang isbat kerap menjadi sorotan. Meskipun pemerintah menegaskan bahwa biaya yang digunakan tidak mencapai miliaran rupiah, tetap saja jumlahnya cukup besar hanya untuk menetapkan awal bulan. Sidang ini mencakup konsumsi, transportasi, honorarium narasumber, serta biaya dokumentasi dan publikasi. Padahal, dengan perkembangan ilmu astronomi modern, penentuan awal bulan hijriah bisa dilakukan secara lebih efisien dan murah.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa metode rukyat (pengamatan hilal) yang menjadi dasar utama sidang isbat sering kali tidak berhasil. Banyak kasus di mana hilal tidak terlihat karena faktor cuaca atau kondisi atmosfer, yang pada akhirnya membuat keputusan tetap bergantung pada metode hisab (perhitungan astronomi). Jika demikian, mengapa negara harus repot-repot mengadakan sidang dengan anggaran besar hanya untuk menunggu hasil pengamatan yang belum tentu membuahkan hasil?
Sebetulnya, Indonesia memiliki dua organisasi Islam besar yang sudah memiliki metode masing-masing dalam menetapkan awal bulan. Nahdlatul Ulama (NU) konsisten menggunakan rukyat, sementara Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan dan Idul Fitri berdasarkan hisab. Jika NU memang tetap ingin menggunakan rukyat, biarlah organisasi ini yang melakukannya secara independen tanpa campur tangan negara. Sebaliknya, Muhammadiyah dengan metode hisabnya sudah memiliki kepastian lebih awal tanpa perlu sidang berbiaya mahal.
Di beberapa negara lain, penentuan awal bulan hijriah dilakukan secara sederhana oleh otoritas keagamaan tanpa sidang formal yang menghabiskan anggaran negara. Arab Saudi, misalnya, memiliki sistem hisab yang dikombinasikan dengan pengamatan hilal, tetapi keputusan akhirnya tetap dibuat oleh otoritas agama tanpa perlu sidang besar-besaran. Malaysia pun tidak membebani negara dengan anggaran besar untuk sidang isbat, melainkan cukup mengandalkan perhitungan astronomi dan laporan dari tim rukyat yang tersebar di berbagai lokasi.
Dalam era digital dan teknologi canggih saat ini, sidang isbat dengan segala kemewahannya menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan. Negara seharusnya bisa lebih bijak dalam mengalokasikan anggaran, terutama untuk hal-hal yang lebih mendesak seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, umat Islam di Indonesia sudah cukup bijak untuk mengikuti keputusan organisasi Islam yang mereka yakini tanpa harus bergantung pada negara.
Maka, alih-alih terus menggelar sidang isbat setiap tahun dengan biaya yang besar, mengapa tidak menyerahkan saja penetapan awal bulan hijriah kepada organisasi Islam yang memang memiliki metode dan basis pengikutnya masing-masing? Negara tidak perlu terlibat dalam hal yang sebenarnya sudah bisa ditentukan tanpa sidang berbiaya mahal.