Indonesia bukanlah negara agama, tetapi agama memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini, “Jangan mencampuradukkan politik dengan agama,” menegaskan bahwa politik seharusnya berjalan terpisah dari pengaruh agama. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa agama justru sering digunakan sebagai alat politik, termasuk dalam isu-isu yang sangat mendasar seperti distribusi zakat dan kebijakan makan bergizi gratis.
Politik dan Agama: Pemisahan yang Sulit
Sejak awal berdirinya, Indonesia telah memilih jalan tengah dengan Pancasila sebagai dasar negara, yang mengakui keberadaan agama tetapi tidak menjadikannya sebagai hukum tertinggi. Namun, ruang-ruang publik, termasuk politik, tidak pernah benar-benar steril dari pengaruh agama. Ucapan Jokowi seolah ingin mengingatkan bahwa politik seharusnya bergerak berdasarkan rasionalitas, bukan sentimen keagamaan.
Namun, ironi muncul ketika zakat—salah satu pilar Islam yang berbasis pada solidaritas sosial—dipolitisasi. Inisiatif seperti program makan bergizi gratis yang menggunakan zakat sebagai sumber pendanaan justru menjadi bukti bagaimana agama tetap dijadikan alat legitimasi politik. Bukankah ini bertentangan dengan pesan Presiden yang ingin memisahkan politik dari agama?
Zakat dan Politik: Dari Kewajiban Religius ke Alat Politik
Zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang bertujuan untuk membantu fakir miskin. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, potensi besar zakat mulai dimanfaatkan oleh pemerintah dan organisasi politik untuk mendukung program-program sosial. Salah satu contohnya adalah program makan bergizi gratis yang dibiayai oleh dana zakat.
Dalam konteks ini, zakat tidak lagi murni menjadi alat keberpihakan sosial, tetapi juga dimanfaatkan untuk membangun citra politik. Pemerintah atau aktor politik tertentu dapat menggunakan program berbasis zakat untuk meraih simpati masyarakat, terutama di kalangan umat Islam.
Pertanyaannya, jika zakat dipolitisasi, apakah itu berarti bahwa agama sudah menjadi bagian dari politik praktis? Bukankah ini mencerminkan inkonsistensi antara pernyataan Presiden dan realitas kebijakan?
Konsekuensi Politisasi Zakat
Politisasi zakat membawa sejumlah konsekuensi, di antaranya:
- Erosi Kepercayaan Masyarakat
Masyarakat dapat kehilangan kepercayaan terhadap pengelolaan zakat jika melihatnya lebih sering digunakan untuk kepentingan politik daripada tujuan mulia membantu yang membutuhkan. - Ketidakadilan Sosial
Jika distribusi zakat dikaitkan dengan agenda politik, kelompok tertentu mungkin diutamakan, sementara yang lain diabaikan. Hal ini mencederai prinsip keadilan dalam pengelolaan zakat. - Pergeseran Nilai Religiusitas
Zakat yang seharusnya menjadi amal ibadah berubah menjadi alat kampanye. Nilai-nilai keikhlasan dan keberkahan dalam zakat dapat tergeser oleh kepentingan pragmatis.
Jalan Keluar: Mengembalikan Zakat ke Rel Unggulnya
Untuk mencegah zakat menjadi instrumen politik, diperlukan langkah-langkah strategis, seperti:
- Memperkuat Regulasi
Pemerintah perlu mengatur pengelolaan zakat secara lebih transparan dan akuntabel, terlepas dari afiliasi politik mana pun. - Meningkatkan Kesadaran Masyarakat
Masyarakat perlu diberikan edukasi mengenai pentingnya mengelola zakat sesuai prinsip agama, tanpa dicampuri agenda politik. - Memisahkan Kepentingan Politik dari Pengelolaan Agama
Pemerintah dan organisasi pengelola zakat harus menahan diri dari menggunakan dana zakat untuk tujuan politis, meskipun untuk program sosial yang dianggap positif.
Pernyataan Presiden Jokowi untuk memisahkan politik dari agama adalah ajakan yang relevan di tengah realitas Indonesia saat ini. Namun, implementasi di lapangan harus konsisten dengan pesan tersebut. Zakat sebagai bagian dari kewajiban religius umat Islam harus tetap murni menjadi alat kesejahteraan sosial, bukan alat politik. Jika tidak, masyarakat tidak hanya kehilangan kepercayaan terhadap pengelolaan zakat, tetapi juga terhadap integritas pemisahan politik dan agama itu sendiri.
Pengelolaan zakat di negara-negara Islam merupakan bagian penting dari sistem ekonomi Islam. Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam, berupa kewajiban umat Muslim untuk mengeluarkan sebagian kecil harta mereka kepada yang berhak menerimanya. Berikut adalah beberapa poin penting tentang pengelolaan zakat di negara-negara Islam:
1. Lembaga Pengelola Zakat
Banyak negara Islam memiliki lembaga resmi yang bertugas mengelola zakat. Misalnya:
- Arab Saudi: Zakat dikelola oleh lembaga yang berada di bawah Kementerian Keuangan, dengan fokus pada distribusi kepada fakir miskin dan proyek sosial.
- Malaysia: Pengelolaan zakat diatur oleh Majlis Agama Islam di setiap negara bagian, yang bertanggung jawab atas pengumpulan, distribusi, dan pemanfaatan zakat.
- Indonesia: Zakat dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan lembaga amil zakat swasta seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat.
2. Sistem Pengumpulan
- Beberapa negara menggunakan pendekatan wajib untuk zakat, seperti Arab Saudi dan Pakistan, di mana zakat dipungut sebagai bagian dari sistem pajak.
- Negara lain, seperti Malaysia dan Indonesia, menerapkan sistem sukarela namun terorganisir, dengan insentif seperti pengurangan pajak untuk mendorong masyarakat membayar zakat.
3. Distribusi Zakat
Distribusi zakat mengikuti aturan syariah yang merujuk pada delapan golongan penerima zakat (ashnaf), yaitu:
- Fakir
- Miskin
- Amil (pengelola zakat)
- Muallaf (yang baru masuk Islam)
- Riqab (budak yang ingin memerdekakan diri, konteks ini jarang digunakan di era modern)
- Gharimin (orang yang terlilit utang)
- Fisabilillah (dalam jalan Allah, termasuk dakwah dan pendidikan)
- Ibnu Sabil (musafir yang kehabisan bekal)
Di beberapa negara, zakat juga digunakan untuk proyek pembangunan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan bencana.
4. Regulasi dan Teknologi
- Negara-negara seperti Malaysia dan UEA memanfaatkan teknologi untuk pengelolaan zakat, seperti aplikasi pembayaran zakat dan platform digital untuk transparansi distribusi.
- Regulasi terkait zakat sering kali dimasukkan dalam sistem hukum negara, seperti di Pakistan, di mana pembayaran zakat di bank dilakukan secara otomatis untuk nasabah Muslim.
5. Tantangan
- Transparansi: Masalah dalam memastikan bahwa dana zakat sampai ke penerima yang benar.
- Koordinasi: Di negara yang memiliki banyak lembaga zakat, seperti Indonesia, koordinasi antar-lembaga sering menjadi tantangan.
- Peningkatan Kesadaran: Masih banyak masyarakat yang kurang memahami pentingnya zakat sebagai kewajiban agama dan mekanisme kesejahteraan sosial.
6. Dampak Sosial dan Ekonomi
- Zakat berperan dalam pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
- Jika dikelola dengan baik, zakat dapat menjadi alat redistribusi kekayaan yang efektif, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan membangun solidaritas sosial.
Negara-negara Islam yang mengelola zakat secara modern dan efisien cenderung menunjukkan hasil yang positif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan mendukung pembangunan ekonomi berbasis syariah.