Tidak ada recordnya, Jokowi pernah menjadi orang kaya, dari hasil usahanya sendiri sebagai pengusaha kayu. Kita hanya mencatat, 8 tahun jadi Walikota Solo, lalu 2 tahun menjadi Gubernur DKI dan kemudian, kini tahun ke 9, sebagai Presiden RI. Selama 19 tahun tercatat sebagai pejabat Publik. Ini artinya hampir separuh dari usia hidupnya, dibiayai oleh penghasilan yang ia terima dari Negara (ex-Pajak Rakyat). Sebagai walikota, di Solo sekalipun, tentu saja penghasilannya, juga sangat besar. Lalu ketika menjabat sebagai Gubernur DKI, Jakarta, tidak perlu diragukan, kalau penghasilannya, jauh lebih besar dari gubernur-gubernur lainnya di Indonesia.
Tahukah, berapa harta kekayaan Jokowi? Pada 14 Mei 2014 saat mencalonkan diri sebagai presiden, Ia melaporkan hartanya senilai Rp30.169.266.012. Haqul yaqin, sebagian besar ini ini buah dari hasil sebagai Walikota, dp pembisnis usaha furniture. Ada catatan lain pada 31 Desember 2014, saat awal menjabat di periode pertama bersama Jusuf Kalla. Saat itu, Jokowi melaporkan harta kekayaannya sebesar Rp33.475.557.928.
Sedangkan dalam laporan terbarunya tertanggal 17 Maret 2023, Jokowi melaporkan harta kekayaan sejumlah Rp 82.369.583.676 kepada KPK. Jokowi tercatat mempunyai sejumlah harta bergerak dan harta tidak bergerak.
Jadi dalam dua periode menjabat sebagai Presiden, hartanya bertambah sekitar Rp. 50M lebih.
Ini yang dilaporkan!.
Persoalanya adalah, sikap apa yang sejatinya harus menjadi kepribadian Jokowi, ketika semua kebutuhan dan jaminan hidupnya, didapat dari pajak langsung dari rakyat. Ahklaq apa yang harus diperlihatkan kepada rakyat dan bangsa ini, yang telah memulyakan dirinya, dengan berbagai fasilitas yang telah diberikan dan nikmati kepadanya.
Di Jepang masyarakat pembayar pajak (Tax Payer), merasa lebih punya harga diri daripada mereka yang hidupnya dari Pajak (Tax eater). Karena itu akhlak pemimpin, selalu dituntut untuk menjadi pioneer dalam beragai penegakan hukum. Ia berkewajiban harus menjunjung etika. Meraka akan mengundurkan diri ketika diketahui melakukan pelanggaran etika dan hukum. Bahkan sampai harus mengahiri hidupnya. Mereka akan Harakiri (mengoyak-ngoyak perutnya dengan pisau), bila tak kuat lagi menanggung rasa malu seumur hidupnya.
Dijalanan para pemakan pajak, lebih santun dan akan mempersilahkan terlebih dahulu, prirotasnya kepada mereka para pembayar pajak. Jangan bermimpi anda bisa melihat pejabat politik/public, arogan, harus dikawal oleh polisi (escorted), untuk bisa melaju ditengah-tengah kemacetan lalu lintas. Prioritas hanya untuk ambulance karena seseorang memerlukan tindakan medis cepat, sebab kalau terlambat bisa menyebabkan kematian. Inilah kemanusiaan.
Apakah anda tahu barapa lama jalan toll di tutup, dan kita semua harus berhenti, untuk sekedar menunggu ada rombongan presiden yang akan lewat? Bila Presiden faham bahwa fasiltas itu didapat dari rakyar, maka protokol seperti itu, tidak perlu diterapkan. Jokowi bahkan pernah berjanji, tidak mau dikawal-kawal, bukan?
Coba bila sopan santun itu ada, lalu merasa bahwa terpilihnya menjadi presiden karena rakyat, hampir tidak mungkin melempar-lempar bingkisan dari dalam mobilnya yang sedang melaju. Kebiasaan melempar-lempar seperti itu, tidak ada kaitannya dengan keinginan untuk membantu rakyat miskin, kecuali pencitraan diri semata-mata.
Cara presiden berpihak kepada rakyat miskin itu, mengalokasikan anggaran secara siginifikan dalam APBN, untuk mnsejahterakan rakyat miskin. Bukan subsidi untuk Kereta Cepat Jakarta Bandung. Bukan pula untuk IKN, yang ditawarkan kepada investor asing, dengan fasilatas Hak Guna usaha selama 190 tahun dan tax holidaynya.
Ini sekadar tambahan, mungkinkah Gibran dan Kaesang, yang diduga mendapat suntikan dana dari PT SN yang angkanya capai kurang lebih 99,3 miliar rupiah, kalau tidak terkait dengab jabatan Presiden orang tuanya?. Dan KPK tidak memeriksanya laporan Ubaidillah Badrun ke KPK, soal tersebut, kalau meeka bukan anak Presiden?