Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gencar melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap koruptor, Luhut Binsar Pandjaitan, yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi bilang, OTT itu kampungan.
Kini, ketika publik khawatir revisi Undang-Undang (UU) No 34 Tahun 2004 tentang TNI akan mengembalikan dwifungsi TNI, sebagaimana di era Orde Baru, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak bilang, itu kampungan.
Ternyata, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Luhut adalah mertua dari Maruli. Istri Maruli adalah Paulina Pandjaitan, putri Luhut yang kini menjabat Ketua Dewan Ekonomi Nasional.
KPK sebelum periode 2024-2029 ini gencar melakukan OTT. Hal itulah yang memicu dukungan masyarakat terhadap lembaga antirasuah itu. Akhirnya terbukti, yang kampungan justru Luhut Binsar Pandjaitan sendiri.
Maruli pun demikian. Justru dialah yang nanti akan terbukti kampungan sendiri. Sebab, dalam draf revisi UU TNI, pasal-pasal yang menunjukkan bahwa TNI berperan ganda atau dwifungsi sebagaimana di era Orde Baru, yakni di ranah militer sekaligus di ranah sipil, masih dipertahankan. Bahkan diperluas.
Di era Orde Baru, TNI yang saat itu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki fungsi ganda atau dwifungsi, yakni sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan sekaligus kekuatan sosial politik.
Konsekuensinya, di tubuh ABRI ada Kepala Staf Sosial Politik (Kasospol), dan di DPR/MPR RI ada Fraksi ABRI yang kemudian menjadi Fraksi TNI/Polri sebelum akhirnya dibubarkan pada awal-awal era reformasi.
Saat itu banyak prajurit TNI aktif dan anggota Polri aktif menduduki jabatan-jabatan sipil di eksekutif seperti menteri, gubernur, walikota dan bupati. Juga di legislatif, baik DPR RI maupun DPRD (provinsi dan kabupaten/kota).
Di era reformasi ini, bila pada UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, prajurit aktif bisa menduduki jabatan sipil di 10 kementerian/lembaga, maka dalam draf revisi UU TNI, hal itu diperluas. Prajurit aktif bisa menduduki jabatan sipil di 15 kementerian/lembaga.
Dalam draf revisi UU TNI, prajurit aktif juga akan dilibatkan dalam pemberantasan narkotika.
Dus, wajar jika publik khawatir dwifungsi TNI secara praktis akan berlaku kembali, dan arwah Orde Baru pun akan bangkit kembali.
Apalagi Presiden Prabowo Subianto adalah jenderal TNI, dan bekas Komandan Jenderal Kopassus itu pun bekas menantu mendiang mantan Presiden Soeharto, penguasa rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Arti Kampungan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merekam kata “kampungan” sebagai adjektiva kiasan yang berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum modern); atau kolot.
Makna kedua lebih menyedihkan lagi, yakni: tidak tahu sopan-santun; tidak terdidik; kurang ajar.
Dengan demikian, apakah Luhut Pandjaitan ingin mengatakan kepada KPK dan mereka yang menyukai OTT itu kurang ajar?
Begitu pun Maruli Simanjuntak. Apakah menantu Luhut ini ingin mengatakan kepada mereka yang khawatir akan bangkitnya arwah Orde Baru itu kurang ajar?
Jika yang dimaksud kampungan adalah orang kampung, bukankah fenomena saat ini justru orang kampung lebih beradab, beretika dan berbudaya dibandingkan orang kota?
Bukankah tokoh-tokoh bangsa ini banyak yang berasal dari kampung? Soekarno dari kampung. Soeharto dari kampung. Abdurrahman Wahid dari kampung. BJ Habibie dari kampung. Joko Widodo juga dari kampung. Bahkan Luhut Binsar sendiri pun dari kampung di Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdatul Ulama (NU), dari kampung. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dari kampung.
Lalu, ada apa dengan kampung? Saya justru bangga disebut berasal dari kampung nelayan kecil di Pemalang, Jawa Tengah. Kalau ada pejabat yang sok berkuasa dan antidemokrasi, justru dialah yang norak, kampungan.