Oleh Prihandoyo Kuswanto-Ketua Pusat Study dan Kajian Rumah Panca Sila.

Bagi partai politik, munculnya kembali politik identitas membuat kecil nyalinya. Rupanya partai politik tidak siap didalam pertarungan politik yang segera memasuki tahun politik, Islam dengan segala atributnya harus diperkusi dengan stigma Radikal, Kilafah. Yang kemudian digoreng dengan cadar dan celana cingkrang. Tentu saja diprediksi akan perlawanan dengan menguatnya politik identitas menjadi parlemen jalanan
Padahal, bangsa Indonesia merdeka tidak terlepas dari gerakan politik identitas.
Ini dimulai dari HOS Tjokroaminoto dengan Syarekat Islam (SI) yang membangkitkan bangsa ini dari ketidakberdayaan, feodalisme, ketidakadilan,
apalagi merdeka dan berdaulat.
Ketimpangan inilah yang melahirkan Syarekat Islam menjadi motor bangkitnya bangsa Indonesia. Ketika itu dimulai dari kongres SI 1916 di Bandung yang menuntut Indonesia merdeka dengan pidato nya Haji Oemar Said Tjokroaminoto dalam Kongres Nasional Pertama Syarikat Islam, 16 Juni -24 Juni 1916 di Bandung. Pidatonya dikenal sebagai ungkapan paling terus terang, jujur, berani, dan tegas mengenai prinsip ”zelfbestuur”, kemandirian bangsa memiliki pemerintahan sendiri. Pidato itu hasil kontemplasi ajaran Islam dan Sunah Rasulullah serta pemikiran dari berbagai paham yang dipelajari dari buku-buku kiri Marxist sampai kanan seperti sosialisme dikaitkan situasi Hindia Belanda senyatanya.
HOS Tjokroaminoto berani frontal mengatakan perlunya pemerintahan sendiri. Menurut Tjokro, bangsa Indonesia harus berjuang memperoleh kebebasan dan kemerdekaan berpolitik. Jangan berharap pada belas kasih kaum penjajah sebab selamanya mereka tidak akan memerdekakan Bumiputera.Ini lah cikal bakal dan perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia yangvdi proklamasikan 17Agustus 1945 oleh Soekarno Hatta.
Politik Islam sebagai politik aliran yang bersanding dengan politik kebangsaan maka lahirlah Pancasila dan UUD 1945 sebagai sebuah kebersamaan, kesepakatan untuk mendirikan Negara Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur.
Indonesia ini dilahirkan dan dibidani oleh geraķan politik identitas dan wakil-wakil golongan identitas itu duduk didalam BPUPKI/PPKI. Mereka, para pendiri negara itu, merumuskan dan membuat kesepakatan yang tertuang didalam Pancasila dan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Desain negara Pancasila itu tidak didesain dengan partai politik. Partai politik itu muncul sejak Maklumat X Wakil Presiden. Kemudian, seiring berjalannya waktu negara ini dijalankan dengan model demokrasi politik oleh partai politik dan demokrasi fungsional oleh politik aliran yang semua ini terwadai didalam MPR.
Oleh sebab itu anggota MPR terdiri dari DPR sebagai wakil golongan partai politik dan utusan golongan sebagai wakil dari politik aliran (baca fungsional).
Amandemen Menjadikan Partai Politik Menghapuskan Politik Aliran dan berkhianat terhadap kesepakatan yang telah menjadi kesepakatan yang tertuang didalam Pembukaan UUD 1945 .
Bentuk dan sistem MPR yang mewadahi segala aliran dan golongan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara begitu muda dihancurkan oleh Pengamandemen UUD 1945.Yang dengan sengaja terjadi kemufakatan jahat amandemen tidak mengikut sertakan rakyat denganbterlebih dahulu mencabut Tap MPR dan UU Tentang Referendum .
Rupanya keserakahan parai politik dengan mengamandemen UUD 1945, telah menghasilkan politik menjadi monopoli partai politik. Semua manusia Indonesia dipaksa menjadi partai politik. Pertanyaannya apakah bentuk pemaksaan seperti ini bagian demokrasi? Dan apa yang seperti ini tidak melanggar Etika dalam berbangsa dan bernegara?
Apakah seluruh rakyat Indonesia harus berpartai politik?
Guru besar berteriak soal demokrasi soal pelanggaran etik tetapi justru tidak pada persoalan bangsa yang sesungguh nya tetapi menjadi hanya sekedar partisan seperti apa yang dilakukan oleh LSM atau NGO yang dibiayai Asing untuk mengamandemen UUD 1945 dengan stikma UUD 1945 merupakan mitos.
Katup kebebasan berdemokrasi justru terletak pada demokrasi fungsional atau demokrasi politik aliran.
Hal ini yang tidak dipahami oleh Para Guru Besar dan civitas akademika dikampus kampus yang ikut mengeluarkan petisi dalam meramaikan pilpres dengan mengusung demokrasi telah mati dan terjadi pelanggaran etik.
Apa yang di stikmakan oleh para guru besar itu sesungguh nya tidak memahami apa yang terjadi pada bangsa dan negara ini .
Kesepakatan berbangsa dan bernegara telah dituangkan pada sistem MPR dimana konfigurasi bhineekatunggal ika
seluruh wakil rakyat dengan kemakmuran nya di aplikasinya didalam sistem MPR.
Tugas MPR salah satu nya merumuskan politik rakyat yang disebut GBHN.
Keinginan politik seluruh elemen bangsa tersalurkan.
Oleh sebab itu Negara dengan dasar Pancasila mempunyai sistem sendiri.
Sebab pendiri negeri ini sangat paham terhadap keadaan bangsa Indonesia yang majemuk yang terdiri berbagai agama, suku, adat istiadat ,golongan -golongan .
Oleh sebab itu politik aliran adalah keniscayaan yang justru memperkaya identitas ke Indonesiaan, bahkan itulah Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai kesepakatan berbangsa dan bernegara bukan demokrasi .Kalau yang dipilih demokrasi maka Jawa yang lebih 40% akan selalu menang Tetapi tidak begitu karena sudah menjadi kesepakatan Bhineekatunggal Ika dan Pancasila menjadi dasar berbangsa dan bernegara.
Mengapa? Indonesia tanpa Jawa bukan Indonesia. Indonesia tanpa Sumatera, Bali, Maluku, Papua juga bukan Indonesia. Pendek kata tanpa Kalimantan, Sulawesi dan seluruh pulau di Indonesia bukan Indonesia.
Indonesia tanpa Islam, tanpa Kristen, Budha, Hindu dan aliran kepercayaan bukan indonesia.
Tetapi Indonesia tanpa PDIP tetap Indonesia. Indonesia tanpa Golkar, Nasdem, Hanura, tetap Indonesia. Jadi Indonesia tanpa partai politik tetap Indonesia.
Munculnya kembali politik aliran yang dimotori oleh umat Islam harusnya menyadarkan seluruh bangsa Indonesia sebab ada yang salah dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini sejak diamandemennya UUD 1945 saluran politik disumbat bagi politik aliran yang dahulunya salurannya di MPR, sekarang disumbat bahkan dibuntu. Akibatnya lahir Gerakan 212 yang membuat semua bingung, gagap dan menuduh Gerakan 212 adalah gerakan politik.
Ya sudah jelas gerakan politik. Tapi sayang rupanya kegagapan ini membuat kepanikan sehingga pendekatannya justru dengan menekan, mempersekusi ulama. Akibatnya justru bukannya politik aliran mengecil malah sebaliknya menjadi besar dan terbukti Pilkada DKI menjungkirbalikan tatanan politik yang didalam perhitungan kalkulator Ahok sebagai pemenang. Tetapi apa yang terjadi justru sebaliknya.
Dan dengan ketimpangan yang terjadi dan ketidak adilan terhadap kaum Pribumi maka kedepan jika kita tidak ķembali pada Pancasila dan UUD 1945 maka kaum pribumi akan bangkit karena tanah untuk hidup nya dirampas oleh asing atasnya investasi.Kasus Rempang ,Kalimantan Dayak ,Sulawesi ,Maluku ,Sumatera pasti akan menjadi perlawanan kaum pribumi danbakanbsemakin rumit apalagi mereka tidak tertampung suara nya di DPR.
Selanjutnya tudingan jargon radikal, intoleran, SARA bahkan dilakukan tindakan hukum, justru saya melihat akan menjadikan politik aliran membesar termasuk didalamnya kaum pribumi.
Sebab persoalannya bukan kebencian dan SARA tetapi ketidakadilan, jurang si miskin dengan si kaya semakin menganga, semakin jauh dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memang sangat sulit menyelesaikan persoalan negeri ini tanpa kembali pada Pancasila dan UUD 1945 original (asli) jika kita masih ingin menatap matahari Indonesia Emas.