Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).
Jakarta, Fusilatnews – Orde Baru is back! Orde Baru telah kembali setelah 26 tahun menjadi “si anak hilang”, menjelang Prabowo Subianto berkuasa.
Bersama wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, Ketua Umum Partai Gerindra itu akan dilantik menjadi Presiden RI pada 20 Oktober mendatang. Prabowo-Gibran akan menggantikan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin sebagai Presiden-Wakil Presiden RI periode 2024-2029.
Benarkah Orde Baru telah kembali ke negeri ini? Bukankah sekarang ini Orde Reformasi?
Betapa tidak. Lihat saja keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR yang telah menyepakati revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi RUU usul inisiatif DPR.
Keputusan tersebut disepakati sembilan fraksi di DPR dalam rapat pleno atau pengambilan keputusan yang digelar Baleg DPR, Selasa (9/7/2024).
Bahkan, pengambilan keputusan itu dilakukan Baleg hanya dalam waktu dua jam saja, mulai pukul 13.00 hingga 15.00 WIB, mengalahkan Bandung Bondowoso yang perlu waktu semalaman untuk membangun Candi Prambanan sesuai “deadline” dari Roro Jonggrang.
Padahal, revisi UU Wantimpres ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020-2024.
Jika Candi Prambanan merupakan pesanan Roro Jonggrang sebagai mahar Bandung Bondowoso untuk mempersunting dirinya, maka revisi UU Watimpres disinyalir sebagai pesanan Prabowo menjelang berkuasa.
Sedikitnya ada dua hal krusial dalam revisi UU Watimpres. Pertama, nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Kedua, jika jumlah anggota Watimpres dibatasi hanya 8 orang, maka jumlah anggota DPA nanti tidak dibatasi. Jumlahnya diserahkan kepada Presiden untuk menampung orang-orang pilihannya yang akan memberikan pertimbangan kepada dirinya dengan leluasa.
Disinyalir, hal tersebut untuk mengakomodasi masuknya mantan presiden dan mantan wakil presiden ke DPA, selaras dengan gagasan Prabowo yang hendak membentuk “Presidential Club” yang akan berisi mantan presiden dan mantan wakil presiden.
DPA yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbagan kepada Presiden, di awal Orde Reformasi dibubarkan melalui Keputusan Presiden Nomor 135/M/2003 tertanggal 31 Juli 2003, setelah amandemen keempat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Kini, rupanya Prabowo, dan sebelumnya juga Presiden Jokowi, gandrung atau rindu akan hadirnya Orde Baru yang sempat menjadi anak hilang selama 26 tahun. Maka dihidupkanlah kembali DPA. Amandemen UUD 1945 pun akan segera dilaksanakan.
Sebelum ini, Ketua MPR Bambang Soesatyo gencar menjual wacana amandemen UUD 1945. Semula amandemen konstitusi dimaksudkan untuk mengakomodasi Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) guna menggantikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah ada di era Orde Baru.
Wacana amandemen konstitusi kemudian berkembang ke sistem pemilihan presiden yang akan diubah dari sistem penilihan langsung oleh rakyat menjadi sistem pemilihan tak langsung oleh MPR seperti yang terjadi di era Orde Baru.
Lagi-lagi elite-elite politik kita gandrung akan hadirnya si anak hilang Orde Baru.
KKN dan Dwifungsi TNI
Sedikitnya ada dua isu utama yang menjadi tuntutan gerakan Reformasi 1998. Yakni, pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dan penghapusan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kini Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dwifungsi berati dua fungsi. Dwifungsi ABRI berarti dua fungsi ABRI, yakni fungsi ABRI di sektor pertahanan dan keamanan (hankam), dan fungsi ABRI di sektor sosial dan politik (sospol). Saat itu ABRI masih menjadi satu rumpun dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Di awal era reformasi dilakukanlah penghapusan Dwifungsi ABRI sehingga ABRI hanya berfungsi di sektor hankam. Penghapusan Dwifungsi ABRI tersebut dilakukan melalui Ketetapan (TAP) MPR No VI Tahun 2020 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
Lalu lahirlah UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Keberadaan Fraksi ABRI atau Fraksi TNI/Polri juga dihilangkan dari DPR/MPR.
Namun, kini Dwifungsi TNI dan Polri bangkit lagi. Indikatornya, tak sedikit TNI dan Polri yang menduduki jabatan-jabatan sipil. Bahkan menjelang Pemilu 2024 lalu, Presiden Jokowi banyak mengangkat Polri sebagai Penjabat Gubernur di seluruh Indonesia.
Kini, kebangkitan Dwifungsi TNI/Polri bahkan akan “dilegalkan” melalui revisi UU TNI dan UU Polri yang sedang digodok di DPR.
Lalu, bagaimana dengan KKN? Jangan ditanya lagi. KKN di Orde Reformasi, bahkan di era Jokowi bertambah parah dari sebelumnya.
Jika sebelumnya korupsi dilakukan dengan mengembat uang negara dalam bilangan miliar rupiah, kini sudah mencapai triliunan bahkan ratusan triliun rupiah.
Korupsi juga meliputi semua lembaga negara yang tergabung dalam Trias Politika, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Di eksekutif, sudah puluhan menteri yang dipenjara karena korupsi. Pun, sudah 400-an kepala daerah (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota) yang dipenjara karena korupsi.
Di legislatif, sudah ratusan anggota DPR RI, 3.700-an anggota DPRD, dan sejumlah anggota DPD RI yang dipenjara karena korupsi.
Bahkan korupsi di legislatif menyentuh pucuk pimpinan, yakni Ketua DPR Setya Novanto dan Ketua DPD Irman Gusman.
Di yudikatif, tak sedikit hakim yang dipenjara karena korupsi. Korupsi di yudikatif pun menyentuh pucuk pimpinan. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dan Hakim MK Patrialis Akbar dipenjara karena korupsi.
Begitu pun Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh yang dipenjara karena korupsi, meskipun Gazalba kemudian dibebaskan (sementara).
Dua Sekretaris MA juga dipenjara karena korupsi, yakni Nurhadi Abdurrahman dan Hasbi Hasan.
Mengapa elite politik, dan juga sebagian rakyat Indonesia gandrung atau rindu akan kehadiran Orde Baru?
Pertama, bisa jadi karena apa yang telah dilakukan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto itu benar adanya alias “on the right track”. Termasuk dalam sektor ekonomi. Maka jangan heran bila kemudian banyak poster bergambar Soeharto dengan ucapan, “Penak jamanku, toh?” eksis di mana-mana.
Kedua, bisa jadi rakyat kecewa dengan kondisi kekinian di Orde Reformasi di mana perekonomian makin sulit dan korupsi kian merajalela
Nepotisme juga mencapai puncaknya dengan terpilihnya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai Wakil Presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Sebelumnya, Gibran juga terpilih menjadi Walikota Surakarta, Jawa Tengah, bersamaan dengan terpilihnya menantu Jokowi, Bobby Nasution sebagai Walikota Medan, Sumatera Utara, di Pilkada 2020.
Proses menjadi calon dalam Pilkada maupun Pilpres tentu tak bisa dilepaskan dari nepotisme di mana Gibran adalah anak dari Jokowi, dan Bobby adalah menantu dari wong Solo itu.
Kini, Bobby akan maju sebagai calon gubernur Sumut, dan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep akan maju sebagai cagub Jateng atau Jakarta pada Pilkada 2024, tanggal 27 November mendatang.
Karena parahnya korupsi di era reformasi, maka muncullah anekdot: jika korupsi di era Orde Lama dilakukan di bawah meja, korupsi di era Orde Baru dilakukan di atas meja, maka di era Orde Reformasi ini mejanya itu sekalian yang dikorupsi.
Ketiga, banyak anak asuh Orde Baru yang tetap eksis di percaturan politik nasional hingga saat ini. Sebut saja Prabowo Subianto yang merupakan menantu Presiden Soeharto dan pernah menjadi Komandan Jenderal Kopassus di era Orde Baru.
Lalu, Ketua MPR Bambang Soesatyo yang sudah eksis sebagai pengusaha dan politikus sejak era Orde Baru.
Bamsoet kini adalah Wakil Ketua Umum Partai Golkar, partai yang merupakan reinkarnasi Golkar yang menjadi penopang utama kekuasaan rezim Orde Baru.
Alhasil, kerinduan pada rezim Orde Baru membuncah di era Orde Reformasi ini. DPA dihidupkan lagi, Dwifungsi TNI/Polri bangkit lagi, KKN dibiarkan tumbuh subur menggerogoti bangsa ini.