Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Mungkin saat ini Novi Helmy Prasetya sedang mengalami gejala apa yang oleh Sigmund Freud (1856-1939) disebut sebagai “split of personality”. Maklum, ia berada di dua dunia yang berbeda sekaligus: dunia militer, dan dunia sipil, khususnya bisnis.
Pada 31 Januari 2025 lalu, prajurit TNI yang kini menyandang pangkat jenderal bintang tiga itu dimutasi dari jabatan Asisten Teritorial Panglima TNI menjadi Komandan Jenderal Akademi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sebelumnya bernama Akademi Militer.
Seminggu kemudian atau pada 7 Februari 2025, Novi diangkat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sebagai Direktur Utama Perum Bulog.
Di situlah Novi barangkali mengalami gejala “split of personality”: satu sisi menjadi Danjen Akademi TNI yang harus berpikir, berucap dan bertindak secara militer; sisi lain menjadi Dirut Bulog yang harus berpikir, berucap dan bertindak secara sipil, bahkan laiknya seorang bisnisman atau pengusaha.
Pengangkatan Novi sebagai Dirut Bulog ini menambah panjang daftar pejabat militer atau prajurit TNI aktif yang menempati jabatan sipil.
Sebelumnya, Mayor TNI Teddy Indra Wijaya diangkat Presiden Prabowo Subianto sebagai Sekretaris Kabinet.
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) No 55 Tahun 2020 tentang Sekretariat Kabinet mengatur Sekretariat Kabinet berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Demi seorang Teddy yang merupakan ajudannya, Prabowo kemudian mengubah beleid itu melalui Perpres No 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara. Dalam Pasal 48 ayat (1) Perpres tersebut, Sekretaris Kabinet menjadi bagian dari Sekretariat Militer Presiden.
Selain Teddy, Mayor Jenderal Maryono juga menjadi Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, dan Mayjen Irham Waroihan menjadi Irjen Kementerian Pertanian, serta Laksamana Pertama Ian Heriyawan menjadi pejabat di Badan Penyelenggara Haji. Entah prajurit TNI aktif mana lagi yang menduduki jabatan sipil lainnya.
Tidak itu saja. Militer juga telah dilibatkan dalam program Makan Bergizi Gratis, penertiban kawasan hutan, hingga wacana pembentukan 100 batalion teritorial pembangunan.
Semua fakta itu menunjukkan bahwa supremasi militer yang pernah terjadi di era Orde Baru kini telah kembali lagi. Di era Reformasi ini, terutama di awal pemerintahan Prabowo, supremasi militer yang pernah hilang itu kini telah kembali.
Penghapusan supremasi militer yang terimplementasikan dalam doktrin Dwifungsi ABRI (kini TNI), sesungguhnya merupakan cita-cita gerakan Reformasi 1998, selain penghapusan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Adapun Dwifungsi ABRI adalah peran ganda militer dalam urusan pertahanan dan keamanan di satu sisi, di sisi lain dalam urusan sosial politik. Sebab itu, di DPR/MPR saat itu ada Fraksi ABRI dan kemudian Fraksi TNI/Polri.
Supremasi sipil kemudian dicanangkan. MPR memisahkan Polri dari TNI melalui Ketetapan No VI/2000. Lalu lahirlah Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2002 tentang Polri, disusul UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Sederet tokoh sipil kemudian menduduki kursi Menteri Pertahanan yang sejak era Soeharto hingga BJ Habibie selalu diduduki sosok militer.
Ada Juwono Sudarsono, Mahfud Md, Matori Abdul Djalil, dan Purnomo Yusgiantoro, misalnya. Di era Prabowo, kursi Menhan dididuki Letnan Jenderal TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin.
Khittah yang Dilanggar
Dengan UU yang baru, TNI pun kembali ke ‘khittah”-nya sebagai alat pertahanan negara. Sayangnya, kini UU TNI justru dilanggar oleh TNI sendiri. Banyak prajurit aktif menduduki jabatan sipil. Praktis, secara faktual TNI kembali mempraktikkan doktrin Dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru.
Padahal, “Dwifungsi TNI” bukan solusi atas permasalahan perwira tinggi TNI yang tak kebagian posisi di tubuh militer.
“Dwifungsi TNI” juga tidak etis, karena para perwira itu menerima dua jenis gaji dari negara. Di sisi lain, kesempatan bagi warga sipil untuk menduduki posisi-posisi sipil menjadi kian sempit.
Apakah masuknya prajurit aktif ke jabatan-jabatan sipil karena militer selalu berhasil dan sipil gagal dalam bekerja, serta militer tidak korup dan sipil korup?
Tidak juga. Proyek “food estate” di Kalimantan Tengah yang ditangani Kementerian Pertahanan saat dipimpin Prabowo, misalnya, sudah terbukti gagal.
Tidak korup? Marsekal Madya Henri Alfiandi saat menjabat Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) juga terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat korupsi.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Asabri periode 2011-Maret 2016 Mayjen TNI (Purn) Adam Rachmat Damiri dan Dirut PT Asabri periode Maret 2016-Juli 2020 Letjen TNI (Purn) Sonny Widjaja juga divonis 20 tahun penjara. Mereka terbukti bersama-sama melakukan korupsi pengelolaan dana PT Asabri yang merugikan keuangan negara hingga Rp22,788 triliun.
Ubah UU TNI
Tak hanya monopoli TNI, di era Reformasi ini Polri juga praktis menjalankan dwifungsi: satu sisi sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), sisi lain mengambil peran sosial politik. Tak sedikit perwira tinggi Polri yang menduduki jabatan penting di kementerian dan lembaga.
Bahkan menjelang Pemilu 2024 lalu, Presiden ke-7 RI Joko Widodo banyak mengangkat perwira tinggi Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah.
Kembali ke TNI, semestinya kalau memang negara memandang perlu dihidupkannya kembali “Dwifungsi TNI”, ubah dulu aturan mainnya, yakni UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Ada sejumlah pasal dalam UU TNI yang dilanggar ketika prajurit aktif menduduki jabatan sipil.
Merujuk UU TNI dan Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) No 38 Tahun 2016, berikut jabatan sipil yang dapat diisi prajurit TNI aktif:
Pasal 47 UU TNI
(2) Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
(3) Prajurit menduduki jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintahan non-departemen serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintah non-departemen dimaksud.
Lalu, pada Permenhan No 38 Tahun 2016 Bab III tentang Jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Instansi Pemerintah yang dapat diisi prajurit TNI, terdapat sejumlah bidang di instansi pemerintah yang dapat diisi prajurit TNI aktif. Yakni:
Pasal 7
Jabatan ASN tertentu pada instansi pemerintah yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif berdasarkan UU sebagai berikut:
a. Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
b. Kementerian Pertahanan.
c. Sekretaris Militer Presiden.
d. Badan Intelejen Negara.
e. Lembaga Sandi Negara.
f. Lembaga Ketahanan Nasional.
g. Dewan Pertahanan Nasional.
h. Badan SAR Nasional
i. Badan Narkotika Nasional.
j. Mahkamah Agung.
Pasal 8
Jabatan ASN tertentu pada instansi pemerintah yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif berdasarkan Peraturan Presiden, antara lain:
a. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
b. Badan Nasional Penanggulangan Teroris.
c. Badan Keamanan Laut.
Khusus untuk Letjen Novi Helmy Prasetya, perlu ditambahkan Dirut Bulog itu melanggar diduga Pasal 39 UU TNI, yakni prajurit dilarang terlibat dalam keanggotaan partai politik, politik praktis, anggota legislatif, dan kegiatan bisnis. Novi kini sedang melakukan kegiatan bisnis.
Tapi apa boleh buat. Mungkin saat ini memang era supremasi militer, sehingga militer bisa menjabat di mana saja. Itulah!