FusilatNews – Di pagi yang ramai dan panas menyengat, Jakarta tetap melaju seperti biasa. Asap knalpot bercampur debu mengepul di udara, menari-nari di antara deretan gedung menjulang dan manusia-manusia yang bergegas mengejar waktu. Di tengah hiruk-pikuk itu, ada satu angkot warna biru kusam meluncur perlahan di ruas Jalan Prof. Dr. Satrio. Di balik kemudi, duduklah seorang lelaki tua bernama AT, usia 56, tubuhnya ringkih namun tangannya masih setia memegang stir.
Tak ada yang tahu, itu akan jadi perjalanannya yang terakhir.
“Tanah Abang, Kampung Melayu… Ayo naik, naik…” begitu biasanya ia menyapa penumpang. Tapi pagi itu, suaranya serak, matanya sayu, tubuhnya gemetar. Semalam, seperti malam-malam sebelumnya, ia tidur di bawah flyover Terminal Kampung Melayu, beralaskan kardus bekas, berselimut udara dingin yang menggigit tulang.
AT tak pernah mengeluh. Hidup memang tak pernah memberinya banyak pilihan. Anak-anaknya entah di mana, rumah hanya tinggal kenangan, dan sisa tenaganya ia pertaruhkan demi recehan yang kadang bahkan tak cukup untuk makan dua kali sehari.
Pagi itu, ia menurunkan penumpang di Kuningan. Seorang ibu muda duduk di sampingnya, membawa kantong belanja dan tas kerja. Tiba-tiba, tangan kiri AT terkulai. Tubuhnya menggigil, lalu perlahan, jatuh bersandar ke bahu si ibu.
“Ibu… ada apa ini, Pak?” suara panik pun terdengar.
Penumpang mulai ribut. Mobil berhenti di tengah jalan. AT diam. Tak lagi menggenggam kemudi. Matanya kosong. Napasnya pelan, lalu hening.
Seorang sopir angkot lain melihat kejadian itu, segera melompat dan mengarahkan mobil ke pinggir. Polisi yang sedang bertugas di dekat Mal Ambassador diberitahu. Dalam hitungan menit, petugas mendatangi TKP. Mereka periksa nadi, tapi tak lagi ada denyut.
Ambulans datang. Tubuh renta itu dibaringkan, ditutupi kain. Tidak ada keluarga. Tidak ada tangisan. Hanya klakson kendaraan yang bersahut-sahutan, menandai bahwa Jakarta tetap harus jalan terus, meski satu nyawa sudah diam dalam pelukannya.
“Dia nggak punya rumah, Pak,” ucap seorang koordinator sopir, pelan. “Tiap malam tidur di kolong flyover. Sendirian.”
Seorang warga yang ikut menyaksikan hanya menunduk. “Orang baik, kerja keras. Tapi ya… siapa yang peduli di kota ini?”
Jakarta tak sempat berkabung. Dalam waktu singkat, kerumunan bubar. Jalan kembali padat. Kehidupan terus berjalan. Hanya satu angkot yang tak lagi melaju.
Dan di sudut terminal Kampung Melayu, tempat AT biasa merebahkan tubuh, malam itu tampak lebih sunyi dari biasanya.