FusilatNews – Ada yang terasa ganjil dari langkah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kali ini. Tanpa gembar-gembor koreksi atau refleksi, partai yang mengklaim sebagai representasi politik anak muda itu mengumumkan akan menyelenggarakan Pemilu Raya untuk memilih ketua umum pada Juli 2025 di Solo. Pengumuman ini muncul tidak sampai dua tahun setelah Kaesang Pangarep ditetapkan sebagai Ketua Umum PSI pada September 2023.
Lazimnya, masa jabatan seorang ketua umum partai politik berlangsung selama lima tahun. PDIP, Partai Demokrat, hingga PAN menjalankan tradisi ini melalui forum kongres partai. Tapi di PSI, belum juga Kaesang mengukuhkan pijakannya sebagai ketua, pemilihan baru sudah disiapkan. Pertanyaannya: apakah ini mekanisme demokrasi progresif yang sungguh-sungguh, atau justru upaya untuk merapikan kekacauan prosedural masa lalu?
Kaesang—yang waktu itu bahkan belum menjadi kader PSI—tiba-tiba muncul menggantikan Giring Ganesha dalam acara Kopi Darat Nasional (Kopdarnas). Tak ada kongres. Tak ada pemilu internal. Tak ada proses seleksi terbuka. Yang ada hanyalah deklarasi terburu-buru, yang oleh sebagian kader PSI sendiri dianggap sebagai penunjukan dadakan, bukan pemilihan sah.
Kini, PSI mengklaim hendak menggelar Pemilu Raya sebagai simbol transformasi menjadi “Partai Super Terbuka”. Wakil Ketua Umum PSI, Andy Budiman, menyebut ini sebagai upaya menjadikan PSI bukan partai milik elite atau keluarga, melainkan partai milik semua anggota. Pernyataan ini terdengar seperti koreksi terselubung: bahwa sebelumnya, PSI memang milik keluarga—tepatnya keluarga Jokowi.
Dengan sistem one man, one vote, pemilihan akan dilakukan daring. Semua anggota boleh memilih dan mencalonkan diri, selama mendapatkan dukungan dari lima DPW dan 20 DPD. Sistem ini, bila dijalankan dengan jujur dan transparan, jelas lebih demokratis dibandingkan skema lama. Tapi tetap saja, pertanyaan mendasar tak kunjung dijawab: apakah Kaesang pernah sah menduduki jabatan Ketua Umum?
Pasal tak tertulis dalam politik Indonesia menyebut bahwa legitimasi pemimpin partai ditentukan oleh proses formal: kongres, musyawarah nasional, atau sejenisnya. Dalam hal ini, PSI bisa dianggap telah melanggar tradisi demokrasi internalnya sendiri ketika menetapkan Kaesang tanpa mekanisme terbuka. Bahwa ia adalah anak presiden, dan bahwa PSI tengah haus popularitas menjelang Pemilu 2024, menjadi dugaan motif kuat di balik penunjukan instan itu.
Publik tentu ingat, Kaesang kala itu masih hijau di dunia politik. Ia dikenal lebih sebagai pebisnis pisang dan selebgram. Tapi status sebagai anak Jokowi telah cukup untuk mendorongnya naik ke tampuk pimpinan partai. Prosedur dan syarat formal dikesampingkan demi simbol dan nama belakang.
Kini, Pemilu Raya itu bisa dibaca sebagai semacam “pengesahan ulang” terhadap kursi yang sebelumnya diduduki secara ilegal. Tapi benarkah ini koreksi total? Atau hanya pengulangan sandiwara politik dalam kemasan digital dan jargon keterbukaan?
Kaesang sendiri tampak tenang menanggapi semua ini. “Semua boleh mencalonkan diri,” katanya. Tapi siapa yang berani menantang? Dengan kekuatan struktur yang sudah Kaesang kendalikan dan pengaruh nama keluarganya, apakah kontestasi ini sungguh terbuka? Atau justru menjadi selebrasi atas status quo yang dikemas demokratis?
PSI boleh saja menggembar-gemborkan reformasi internal. Tapi transparansi bukan hanya soal e-vote dan seleksi terbuka. Transparansi adalah juga kejujuran mengakui bahwa dulu ada kesalahan prosedural besar dalam penetapan Kaesang. Jika itu tak diakui, maka Pemilu Raya bukanlah koreksi, melainkan kamuflase.
Akhirnya, PSI boleh menyebut diri “Partai Super Terbuka”. Tapi publik tidak mudah dikelabui. Demokrasi bukan soal kosmetik, melainkan soal etika dan konsistensi. Dan untuk saat ini, sejarah akan mencatat: Kaesang menjadi ketua umum PSI lewat jalan pintas. Pemilu Juli nanti hanya akan menjawab satu hal: apakah jalan pintas itu akan tetap dibiarkan, atau mulai diluruskan?