USULAN agar pusat pemerintahan Hindia Belanda dipindahkan dari Batavia itu selama dua tahun tidak diindahkan. Dibiarkan tergeletak di atas meja Gubernur Jendral J.P. van Limburg Stirum, bahkan tertumpuk dengan berkas-berkas lain.
Adalah H.F. Tillema, ahli Kesehatan lingkungan. Bersama timnya ia berkeliling di daerah pantai utara (pantura) Pulau Jawa, dari Banten sampai Banyuwangi. Bukan traveling tetapi melakulan penelitian keadaan lingkungan di sepanjang pantura.
Selesai penelitian, Tillema membuat laporan. Di laporannya itu dia menyimpulkan kota-kota di daerah Pantura Pulau Jawa, karena banyak rawa, kurang sehat. “Banyak penyakit, di antaranya malaria,” ujar mendiang Haryoto Kunto, kuncen Kota Bandung.
Karena itu menurut Tillema kota-kota di daerah pantura Pulau Jawa, termasuk Batavia, tidak sesuai untuk pusat administrasi pemerintahan, apalagi dijadikan ibu kota pemerintah pusat. Ia menyarankan pusat-pusat administrasi pemerintahan dipindahkan ke pedalaman ke pegunungan yang jauh dari pesisir utara.
Tillema menyebutkan tempat yang cocok menjadi ibu kota baru Hindia Belanda adalah Kota Bogor, Sukabumi, Bandung, Candi (Semarang atas, Jawa Tengah), Lawang dan Malang (Jawa Timur). Tillema tidak menyebut daerah di luar Pulau Jawa.
Laporan tersebut dikirim ke Sang Gubernur Jendral, tetapi awalnya tidak mendapat perhatian. Dua tahun kemudian baru hasil penelitian Tillema ditanggapi dengan serius. Itu pun berkat Rektor Bandoengsche Tehnische Hoogeschool (sekarang ITB), Prof.J. Klopper.
Prof. J.Klopper sependapat dengan usulan Tillema, ibu kota sebaiknya dipindahkan, dan dia mendukung gagasan ibu kota dipindahkan dari Batavia ke Bandung. Alasannya Bandung selain berudara sejuk, juga masih kosong, sehingga bisa leluasa dalam perencenaan kota.
Mendiang Haryoto Kunto mengatakan Hindia Belanda merencanakan Batavia sebagai pusat industri dan bisnis serta sebagai kota pelabuhan. Bandung sebagai ibu kota, pusat pendidikan, dan daerah wisata alam, tempat pelesiran pelancong.
Sang Gubernur Jendral bergerak cepat. Ia membentuk tim perencanaan yang terdiri dari bebeberapa instansi pusat dan instansi Kotapraja (Gemeente) Bandung, dan perusahaan daerah milik Kotapraja Bandung yang bergerak di bidang konstruksi.
Sebagi leading sektornya adalah Burgerlijke Openbare Werken (BOW, Kementerian Pekerjaan Umum). Dinas pekerjaan umum Kotapraja Bandung (Gemeentewerken) juga ikut dilibatkan. Tim perencanaan dipimpin pengsiunan perwira tentara, Kolonel V.L.Slors.
Penunjukan Stors bukan tanpa alasan. Ia tahun 1895, saat itu pangkatnya Lentan Dua (Letda), berhasil membangun Kota Cimahi sebagai pusat militer. Ia pun membangun pusat militer di Bandung yang sekarang jadi kompleks Kodam III Siliwangi.
Menurut Haryoto Kunto dalam buku Balai Agung di Kota Bandung (Granesia, 1996), yang disebut kompleks militer di Bandung zaman Hindia Belanda meliputi kawasan kota yang memiliki identitas nama jalan yang diambil dari nama pulau di Nusantara.
Karena itulah di Bandung ada nama Jalan Jawa, Jalan Aceh, Jalan Kalimantan, Jalan Sumetarta, Jalan Riau, Jalan Ambon dan sebagainya. Hingga sekarang pun beberapa jalan tersebut masih kental nuansa militernya.
Ya, itu berkat Stors yang ternyata memiliki wawasan Nusantara. Pada tahun 1918 ia pengsiun dan pulang ke Belanda. Tahun 1920, dipanggil lagi ke Hindia Belanda untuk memimpin tim perencanaan ibu kota baru Hindia Belanda.
Di tim perencanaan terdapat pula para ahli dalam planologi dan arsitektur. Di antaranya: Ir. J. Gerber, arsitek muda yang berbakat; Ir.E.H.dee Roo, dan Ir.G.Hendrik, keduanya mewakili Gemeente van Bandung.
Dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda benar-benar melibatkan pemerintah lokal. Pemerintah lokal berperan aktif, di antaranya menentukan dan menyediakan lahan untuk perkantoran pemerintah pusat, bahkan mengeluarkan anggaran.***
Oleh : Fusilat Jabar ( Jabar1 )