Perubahan perilaku konsumen yang makin digital, sadar nilai, dan selektif menjadikan banyak ritel raksasa tak lagi relevan. Era mal megah dan etalase gemerlap tengah memasuki senja kala.
Suatu sore di penghujung pekan, sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan tampak lengang. Beberapa toko menutup permanen, sisanya bertahan dengan diskon besar-besaran. Di salah satu sudut, toko ritel pakaian ternama yang dulu selalu dipadati pengunjung kini hanya menyisakan rak kosong dan tanda “CLEARANCE SALE – LAST DAY”.
Fenomena ini bukan kebetulan. Ia adalah bagian dari gejala yang lebih besar: perubahan perilaku konsumen yang kian masif dan mendasar. Tak lagi mengejar label, tak lagi terpikat etalase, konsumen masa kini lebih tertarik pada pengalaman personal, kemudahan digital, dan nilai-nilai keberlanjutan. Ritel konvensional yang gagal beradaptasi, satu per satu tumbang.
Ritel Tak Lagi Sakti
Selama beberapa dekade, ritel fisik menjadi simbol kekuatan ekonomi urban. Mal dan department store menjelma tempat berbelanja sekaligus rekreasi. Tapi sejak pandemi COVID-19 dan gelombang digitalisasi yang tak terbendung, paradigma itu retak. Konsumen menemukan kenyamanan baru: berbelanja dari rumah, membandingkan harga lewat ponsel, membaca ulasan sebelum memutuskan.
“Di dunia digital, konsumen menjadi lebih berkuasa,” kata Dini Setyarini, analis perilaku konsumen dari Universitas Indonesia. “Mereka lebih rasional, lebih sadar nilai, dan makin selektif.”
Tak heran, dalam lima tahun terakhir sejumlah ritel besar tutup. Di antaranya: Centro, Debenhams, Lotus, hingga merek-merek waralaba luar negeri seperti Forever 21 dan Topshop. Tak hanya di Jakarta, tapi juga menyebar ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya, hingga Medan.
Bergeser ke Layar, Bukan Lorong
Fenomena ini bukan hanya karena e-commerce semakin mudah. Lebih dari itu, terjadi pergeseran cara pandang konsumen terhadap “kebutuhan”. Belanja tak lagi dianggap aktivitas sosial atau hiburan semata. Kini, konsumen lebih ingin efisien, cepat, personal, dan kadang—tidak ingin terlihat konsumtif.
Mereka juga semakin peduli pada aspek etis dan keberlanjutan. Menurut survei Nielsen, lebih dari 70 persen konsumen milenial dan Gen Z di Asia menyatakan hanya akan membeli dari brand yang sejalan dengan nilai hidup mereka—termasuk soal lingkungan dan hak pekerja. Ini jadi tantangan serius bagi ritel besar yang masih menjalankan sistem produksi massal dan distribusi konvensional.
Tak hanya itu, budaya ekonomi berbagi dan langganan juga berkembang. Konsumen kini lebih senang menyewa daripada membeli, berlangganan dibandingkan memiliki. Mulai dari layanan streaming, kendaraan, bahkan fesyen.
Harus Adaptif atau Mati
“Ini bukan semata kiamat ritel, tapi seleksi alam,” ujar Yudi Widodo, konsultan bisnis ritel. Menurutnya, ritel yang mampu bertahan adalah mereka yang cepat beradaptasi: menggabungkan online dan offline, membangun komunitas pelanggan, serta menawarkan pengalaman unik yang tak bisa digantikan teknologi.
Contohnya, beberapa merek lokal justru berkembang pesat karena cermat membaca pasar. Mereka menawarkan narasi kuat, transparansi produk, serta pendekatan digital yang interaktif—mulai dari live shopping hingga kolaborasi dengan influencer mikro.
Sementara itu, banyak ritel besar terjebak dalam struktur lama yang lamban dan boros. “Mereka terlalu lama merasa nyaman,” kata Yudi. “Padahal konsumen sudah jauh melangkah ke depan.”
Akhir dari Mal?
Apakah ini berarti era mal dan ritel fisik sudah berakhir?
Belum tentu. Namun jelas, fungsi dan peranannya akan berubah. Mal bukan lagi pusat belanja, melainkan tempat berinteraksi sosial dan pengalaman. Ritel fisik yang bertahan adalah mereka yang mampu menciptakan koneksi emosional, bukan sekadar transaksi.
Yang pasti, konsumen sudah berubah. Mereka tidak akan kembali ke kebiasaan lama. Dan dalam ekosistem yang baru ini, siapa pun yang gagal membaca arah angin hanya akan menjadi sejarah.