Oleh: Damai Hari Lubis-Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Prabowo Subianto telah melewati 100 hari masa kepemimpinannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Sebagai pemimpin yang diharapkan membawa perubahan, publik menanti langkah konkret, terutama dalam aspek penegakan hukum yang menjadi salah satu poin janji kampanyenya. Namun, di tengah ekspektasi tinggi terhadap supremasi hukum, justru terjadi paradoks yang menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana bisa penegakan hukum begitu cepat dan tegas bagi pelaku kecil, sementara tokoh-tokoh dengan dugaan kasus besar seperti Budi Arie dan Firli Bahuri masih bebas berkeliaran tanpa kepastian hukum?
Kasus judi online menjadi contoh nyata dari disparitas hukum di era Prabowo. Tidak sedikit masyarakat kecil, termasuk peserta judi online, yang telah dijatuhi vonis dan merasakan jeruji besi. Di sisi lain, Budi Arie, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika yang kementeriannya terciduk sebagai pusat bisnis judi online, justru masih melenggang bebas. Status hukumnya pun masih abu-abu. Pertanyaannya, mengapa hukum begitu cepat bekerja terhadap rakyat kecil, tetapi begitu lamban jika menyangkut pejabat tinggi negara?
Firli Bahuri, eks Ketua KPK yang terjerat kasus dugaan pemerasan, juga masih belum tersentuh hukum secara tegas. Kasus ini sudah menjadi konsumsi publik dan semestinya menjadi perhatian utama dalam komitmen pemberantasan korupsi. Namun, fakta berbicara lain: hingga kini, tidak ada langkah signifikan dalam menuntaskan kasus tersebut.
Apakah ini menunjukkan bahwa pengaruh Jokowi masih kuat dalam pemerintahan saat ini? Dugaan tersebut bukan tanpa alasan. Publik mulai berspekulasi bahwa Kabinet Merah Putih masih berada dalam bayang-bayang Jokowi. Lebih jauh, ada yang menyimpulkan bahwa Prabowo takut terhadap Jokowi, terlebih jika dikaitkan dengan kasus “Fufu Fafa” yang pernah mengguncang level nasional. Narasi yang menyerempet ke ranah personal serta menyeret simbol kekuasaan era sebelumnya jelas meninggalkan jejak kuat dalam percaturan politik saat ini.
Namun, tentu ada sudut pandang lain yang lebih positif. Bisa saja Prabowo tengah menunjukkan sikap kepemimpinan yang sabar dan pemaaf. Namun, sabar seperti apa yang dibutuhkan untuk menegakkan hukum secara adil? Pemaaf seperti apa yang diterapkan jika harus mengorbankan kepercayaan publik terhadap supremasi hukum?
Di sisi lain, ada beberapa kebijakan Prabowo yang patut diapresiasi, seperti pembatalan program Tapera dan instruksi pencabutan pagar bambu di laut Kabupaten Tangerang. Meski demikian, langkah-langkah ini masih jauh dari cukup untuk mengimbangi permasalahan fundamental dalam penegakan hukum.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang berani mengambil tindakan nyata. Jika dalam 100 hari pertama belum ada kepastian hukum bagi para pejabat tinggi yang diduga terlibat skandal, apakah dalam 200 hari ke depan akan ada perubahan? Atau justru Prabowo akan terus berjalan di garis kebijakan warisan sebelumnya?
Saat ini, masyarakat masih menunggu dan berharap. Namun, tanpa tindakan konkret, harapan itu bisa berubah menjadi kekecewaan yang lebih dalam.