Proyek reklamasi dan pembangunan kawasan elite seperti PIK 2 telah menjadi isu kontroversial yang terus bergulir. Namun, perdebatan ini tidak hanya terbatas pada wilayah Jakarta saja. Faktanya, terdapat setidaknya 37 wilayah yang telah dan sedang dikerjakan di berbagai daerah di Indonesia, yang sebagian besar berada di pesisir. Fenomena ini bukan sekadar pembangunan biasa, tetapi berpotensi menciptakan kota-kota baru yang dihuni oleh orang-orang asing, tidak berbahasa Indonesia, dan memiliki kekayaan yang jauh melampaui mayoritas penduduk lokal.
Jika kita melihat sepanjang pesisir timur Sumatera, dari Medan hingga Lampung, pola yang sama mulai tampak jelas. Kota-kota baru dengan hunian elite bermunculan, bukan untuk rakyat Indonesia kebanyakan, tetapi lebih banyak ditujukan bagi komunitas asing yang memiliki akses ekonomi dan politik yang kuat. Di sisi lain, di pesisir utara Jawa, dari Merak hingga ke timur, kita juga melihat pola serupa. Dengan semakin luasnya izin reklamasi yang diberikan kepada pihak swasta dan asing, ada kekhawatiran bahwa negara secara perlahan kehilangan kendali atas wilayah strategisnya sendiri.
Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, apakah proyek-proyek ini murni untuk kepentingan pembangunan nasional atau ada agenda lain yang lebih besar? Beberapa kalangan mencurigai bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari skenario yang lebih luas untuk mengembalikan ideologi tertentu, seperti komunisme. Meskipun tuduhan ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, sejarah menunjukkan bahwa penguasaan aset strategis oleh entitas asing dapat menjadi ancaman serius bagi kedaulatan negara.
Tahun 1965 menjadi titik sejarah penting bagi Indonesia dalam menghadapi ancaman ideologi asing, khususnya komunisme. Namun, berbeda dengan masa lalu, ancaman kali ini tidak datang dalam bentuk gerakan politik terbuka, melainkan melalui jalur ekonomi dan penguasaan infrastruktur vital. Ketika entitas asing memiliki akses penuh terhadap wilayah-wilayah pesisir yang strategis, ada kemungkinan bahwa pengaruh mereka tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi, tetapi juga dalam aspek pertahanan dan hukum. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan bahwa pangkalan-pangkalan militer asing dapat didirikan dengan dalih perlindungan investasi, sesuatu yang tentu saja dapat mengancam kedaulatan nasional.
Mengingat skala pembangunan ini yang tidak hanya terbatas pada Jakarta tetapi tersebar di berbagai daerah pesisir, pemerintah harus lebih transparan dalam menjelaskan kebijakan ini kepada publik. Penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran yang terjadi dalam proses reklamasi dan pembangunan harus ditegakkan secara ketat. Tanpa adanya kontrol yang jelas, Indonesia berisiko kehilangan kendali atas sebagian wilayahnya sendiri dan membiarkan entitas asing menguasai sumber daya strategis yang seharusnya menjadi milik bangsa.
Ke depan, pemerintah harus menjawab pertanyaan mendasar: Apakah proyek-proyek ini benar-benar untuk kepentingan rakyat, atau hanya untuk segelintir elit dan investor asing? Jika tidak segera ditangani dengan tegas, maka bukan tidak mungkin bahwa generasi mendatang akan hidup di negeri yang secara fisik masih bernama Indonesia, tetapi dikendalikan oleh pihak luar yang memiliki kepentingan berbeda dengan rakyatnya sendiri.