Dua terdakwa penembak Laskar FPI, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella divonis lepas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat, 18 Maret 2022.
Menurut hakim, kedua terdakwa terbukti melakukan tindak pidana seperti pada dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum.
“Menyatakan perbuatan terdakwa Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorella sebagai dakwaan primer dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas, tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf,” kata Ketua Majelis Hakim Muhammad Arif Nuryanta saat membacakan keputusan di PN Jakarta Selatan kemarin.
Hakim menyatakan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan. “Memulihkan hak-hak terdakwa. Menetapkan barang bukti seluruhnya dikembalikan ke Jaksa Penuntut Umum,” katanya.about:blank
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum menuntut kedua terdakwa 6 tahun penjara. Jaksa menuntut kedua polisi itu dengan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sontak putusan ini mendapat sorotan dari beberapa lembaga sipil.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan atau KontraS menyayangkan vonis lepas yang diputus oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan itu.
Wakil Koordinator Kontras Rivanle Anandar mengatakan, tindakan penembakan yang dilakukan terhadap korban tidak sah secara hukum atau dapat dimaknai sebagai perbuatan unlawful killing.
“Terjadinya perbuatan unlawful killing tampak dari tindakan terdakwa yang tidak berdasarkan hukum dan prinsip-prinsip hak asasi manusia,” kata dia saat dihubungi, Jumat, 18 Maret 2022.
Di sisi lain, Rivanlee melanjutkan, peradilan ini seharusnya bisa membongkar praktik unlawful killing tersebut lebih jauh, karena peristiwa KM 50 dianggapnya bukanlah kejadian tunggal, melainkan ada dugaan keterlibatan yang perlu dibongkar.
“Tapi, dengan vonis bebas ini, justru menyederhanakan masalah unlawful killing dan potensi keberulangan peristiwa atas kesewenangan penggunaan senjata oleh aparat akan semakin tinggi,” tegas dia.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI Muhammad Isnur pun melihat adanya kejanggalan dalam putusan hakim tersebut.
Putusan lepas kedua terdakwa penembak Laskar FPI disebutnya mengesampingkan temuan Komnas HAM.
“Pertimbangan hakim menurut saya sangat janggal karena pasal pembelaan itu dipakai ketika polisi dalam keadaan yang menjadi korban. Sedangkan dalam kasus ini polisi dalam kondisi menguasai,” kata Muhammad Isnur, Jumat, 18 Maret 2022.
Isnur mengatakan hakim hanya mengandalkan keterangan satu sisi terdakwa, padahal dalam kontruksi di mana tidak ada saksi, maka hakim harus melihat petunjuk dari temuan lain, dalam hal ini temuan Komnas HAM.
“Temuan Komnas HAM harusnya jadi pertimbangan hakim memutus perkara ini, karena bagaimana bisa hanya percaya pada terdakwa dan tidak ada saksi yang bisa membantah itu?” tutur Isnur.
Sementara ihwal pembelaan terpaksa yang menjadi pertimbangan hakim memutus lepas, menurut Isnur hal itu tidak cukup kuat untuk digunakan sebagai pertimbangan karena bertentangan dengan logika.
“Sebab keterangan ini hanya didapat dari keterangan dua terdakwa. Kenapa tidak diborgol setelah pengejaran, baku tembak, dan dua orang tewas? Lalu kenapa tidak melumpuhkan kaki atau tangan jika ada perlawanan?” katanya.
Atas dasar inilah, lanjut Isnur, hakim harus ‘out of the box’ untuk menggunakan pertimbangan lain dari temuan-temuan Komnas HAM untuk mengetahui rangkain peristiwa tidak hanya pada keterangan terdakwa.
Beda Vonis Lepas dan Bebas
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan vonis bebas dan vonis lepas punya arti hukum yang berbeda. Fickar mengatakan vonis lepas berarti terbukti telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dihukum karena ada alasan pemaaf atau penghapus pidana sehingga tidak dapat dihukum.
“Alasan penghapus atau pemaaf dalam KUHP apabila: pelaku sakit jiwa (Pasal 44 KUHP), pelaku belum dewasa atau anak-anak (Pasal 45 KUHP), pelaku melakukan karena dipaksa pihak lain (Pasal 48 KUHP), pembelaan diri karena terpaksa atau serangannya melebihi kemampuan (Pasal 49 KUHP),” kata Abdul Fickar saat dihubungi Tempo, 18 Maret 2022.
Kemudian pertimbangan lain adalah melaksanakan ketentuan Undang-undang (Pasal 50 KUHP) semisal Satpol PP menertibkan pedagang kali lima dengan merusak barang, lalu melakukan perbuatan pidama karena melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 KUHP) misalnya pelaksana hukuman mati.
“Sedangkan vonis bebas itu tidak terbukti sama sekali,” jelas Abdul Fickar.
“Adapun upaya hukum vonis bebas atau vonis lepas tidak bisa mengajukan banding, tetapi mengajukan kasasi,” katanya.
Menanggapi vonis lepas dua pembunuh FPI, Abdul Fickar mengatakan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Hakim Ketua Muhammad Arif Nuryanta.
“Dalam konteks polisi yang menembak anggota FPI dan divonis lepas ini putusan yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan perikemanusiaan,” ujar Abdul Fickar.
Tanggapan Polda Metro Jaya
Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Orohella adalah anggota Polda Metro Jaya. Juru bicara Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan mengatakan, pihaknya menghormati putusan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan atas kedua anggotanya tersebut.
“Yang pertama, Polda Metro Jaya menghormati putusan pengadilan yang sudah dilaksanakan secara transparan dan juga terbuka,” kata Zulpan kemarin.
Kemudian, yang kedua Polda Metro Jaya membenarkan tindakan kedua terdakwa sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).
“Terkait dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari ini terkait dengan peristiwa di KM 50, ini berarti apa yang dilakukan kepolisian didalam peristiwa KM 50 adalah sesuai dengan SOP yang telah dilakukan oleh anggota di lapangan,” sambungnya.
Sumber : Tempo