Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024 / Sarjana Pendidikan UNS
Jakarta – Bukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namanya kalau tidak suka aneh-aneh. Misalnya mengurus hal remeh-temeh. KPK seperti kurang kerjaan.
Teranyar, Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardana mempersoalkan pemberian hadiah dari wali atau orangtua murid kepada guru saat kenaikan kelas yang ia sebut sebagai gratifikasi, bukan rezeki.
Gratifikasi, menurut Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pemberian dalam arti luas, yang mencakup uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi ini dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima.
Jika gratifikasi diterima dan membuat penerima melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat publik, maka gratifikasi tersebut dianggap suap.
Gratifikasi yang wajib dilaporkan kepada KPK adalah gratifikasi yang melebihi nilai wajar yang saat ini adalah Rp1.000.000, dan wajib dilaporkan dalam waktu 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima.
Orang tua atau wali murid biasanya memberikan suatu hadiah berupa barang atau uang pada saat penerimaan raport, pengumuman kelulusan, atau penerimaan ijazah. Pertanyaannya, apakah pemberian suatu hadiah pada saat itu bisa memengaruhi guru untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya sebagai pegawai negeri, misalnya memberikan nilai yang bagus atau meluluskan? Sepertinya tidak, karena pada saat itu raport, pengumuman kelulusan atau ijazah sudah jadi.
Disebut gratifikasi apabila nominalnya di atas Rp1.000.000. Pertanyaannya, apakah ada otangtua atau wali murid memberikan hadiah kepada guru berupa uang atau barang yang nilainya lebih dari Rp1.000.000? Sepertinya jarang sekali.
Kebanyakan sekadar kue, pakaian, kado, bingkisan atau uang yang nilainya kurang dari Rp1.000.000. Bahkan jauh dari angka itu.
Pemberian hadiah kepada guru bagi masyarakat Indonesia adalah semacam tradisi sebagai ungkapan rasa terima kasih, rasa sayang dan cinta kasih, apresiasi, penghargaan, penghormatan, dan sejenisnya. Itu sudah berlangsung turun-temurun.
Setelah guru, mungkin yang akan dipersoalkan oleh KPK terkait gratifkasi adalah “bisaroh” untuk guru-guru mengaji, ustadz, ulama atau kiai di pondok-pondok pesantren. Kalau saja ada kiai yang pegawai negeri.
Di pesantren ada semacam tradisi pemberian “bisaroh” atau semacam insentif kepada kiai di akhir masa pelajaran atau menjelang Lebaran. Biasanya juga tidak sampai Rp1.000.000.
Fokus Saja ke Kasus Besar
Mengapa KPK mengurus hal reneh-temeh yang bahkan sudah menjadi semacam tradisi yang melekat dengan nilai-nilai ketimuran seperti pemberian hadiah kepada guru?
KPK mestinya fokus saja ke kasus-kasus gratifikasi kelas kakap atau besar yang nilainya mencapai jutaan, puluhan juta, ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Energi KPK akan terkuras habis jika mengurus hal-hal remeh temeh.
Ironisnya, ketika berhadapan dengan kasus dugaan gratifikasi kelas kakap KPK justru tak berani bertindak. Kasus Kaesang Pangarep menumpang pesawat jet pribadi dari Jakarta ke Amerika secara gratis, misalnya.
Lantas, bagaimana sikap KPK terkait dugaan gratifikasi yang menyangkut anak bungsu Joko Widodo yang saat kasus terjadi menjabat Presiden RI itu?
Ternyata KPK melempem. Tak berani. Lepas tangan. Saat itu KPK serta-merta menyatakan tumpangan jet pribadi Kaesang dan istrinya, Erina Gudono itu bukan gratifikasi, karena Kaesang bukan pejabat publik.
Pertanyaannya, meskipun bukan pejabat publik, tapi kalau Kaesang bukan anak seorang presiden, mana mungkin ia akan mendapat tumpangan gratis senilai puluhan miliar rupiah itu?
Bobby Nasution, menantu Jokowi yang kini jadi Gubernur Sumatera Utara juga pernah dilaporkan terkait gratifikasi berupa penggunaan fasilitas pesawat jet pribadi. Namun, lagi-lagi KPK tak berani bertindak.