Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)

SEJAK pecah kongsi dengan Presiden Joko Widodo, PDI Perjuangan menjadi seperti Banteng Ketaton, ungkapan dalam bahasa Jawa yang menggambarkan seekor banteng terluka yang biasanya mengamuk sejadi-jadinya.
Ya, PDIP seperti mengamuk, karena merasa dikhianati Jokowi. Dua kali maju sebagai calon walikota Surakarta, Jawa Tengah, pada Pilkada 2005 dan 2010, selalu PDIP yang mengusung Jokowi.
Maju ke Pilkada DKI Jakarta 2012 sebagai calon gubernur, PDIP pula yang mengusung Jokowi. Bahkan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, lagi-pagi PDIP yang mengusung wong Solo itu sebagai calon presiden.
Akan tetapi, ketika pada Pilpres 2024 PDIP mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud Md sebagai capres-cawapres, Jokowi justru mendukung Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai capres-cawapres, dan menang. PDIP terluka. Langkah Banteng Ketaton pun menjadi gagap.
Misalnya, selain mengajukan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), PDIP juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait keabsahan Gibran sebagai cawapres.
Gugatan yang teregister dengan nomor perkara 133/G/TF/2024/PTUN.JKT itu dilayangkan PDIP karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerima pencalonan Gibran.
PDIP menilai, KPU melakukan pelanggaran dengan menerbitkan Peraturan KPU yang menindaklanjuti Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Sedianya, PTUN Jakarta membacakan putusan gugatan tersebut pada Kamis (10/10/2024) kemarin. Namun dengan dalih Ketua Majelis Hakim-nya sedang sakit maka pembacaan putusan ditunda menjadi Kamis (24/10/2024) mendatang.
Sementara Prabowo-Gibran akan dilantik MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2024-2029 pada Ahad (20/10/2024) nanti.
Apakah gugatan PDIP akan dikabulkan PTUN Jakarta atau justru ditolak? Di sinilah mungkin alasan sesungguhnya mengapa PTUN Jakarta menunda pembacaan putusan hingga Kamis (24/10/2024) depan. PTUN tak mau menciptakan kegaduhan yang berimplikasi pada munculnya instabilitas politik dan keamanan menjelang pelantikan Prabowo-Gibran.
Sementara itu, sambil menunggu pembacaan putusan, PDIP terus menjalin komunikasi intensif dengan Prabowo Subianto, presiden terpilih di Pilpres 2024.
Dikabarkan, PDIP akan mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Prabowo sendiri disebut sudah menyiapkan sejumlah kursi menteri untuk PDIP.
Akan tetapi, keputusan final apakah PDIP akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang berisi tujuh partai politik pendukung Prabowo-Gibran atau tidak akan diputuskan setelah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bertemu Prabowo yang menurut rencana akan berlangsung sebelum 20 Oktober 2024.
Namun, sejauh ini belum ada tanda-tanda Megawati akan bertemu Prabowo. Entah kalau keduanya sudah bertemu secara diam-diam.
Yang jelas, justru Jokowi yang sudah bertemu terlebih dahulu dengan Prabowo secara eksklusif selama dua jam sambil makan malam bersama di Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2024) lalu.
Pertemuan empat mata Jokowi-Prabowo itu dispekulasikan mendiskusikan formasi kabinet mendatang. Artinya, Jokowi selangkah di depan Megawati.
Apakah terkatung-katungnya rencana pertemuan Megawati-Prabowo karena adanya gugatan PDIP ke PTUN?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, langkah Banteng Ketaton itu ambigu. Satu sisi menggugat keabsahan pencawapresan Gibran, sisi lain ingin masuk kabinet.
Artinya, secara hukum PDIP tidak mengakui keberadaan Gibran sebagai wapres terpilih karena pencalonannya mereka anggap tidak sah, tapi secara politik sebenarnya partai Banteng itu mengakui keberadaan bekas Walikota Surakarta itu sebagai wapres terpilih karena mau duduk di kabinet Prabowo-Gibran.
Di sinilah langkah Banteng Ketaton itu terlihat gagap. Mungkin sedang demam panggung karena mau masuk kabinet yang di dalamnya ada Gibran, putra Jokowi seteru politik PDIP dan Megawati.