Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid tentang pagar laut misterius di Kabupaten Tangerang mengundang tanda tanya besar: siapa yang sebenarnya memiliki dan bertanggung jawab atas laut Indonesia? Pernyataan Nusron bahwa “selama masih di laut, itu adalah rezimnya laut” mencerminkan ketidakjelasan tata kelola dan penegakan hukum terkait wilayah laut. Ketidakpastian ini berimplikasi langsung pada hak-hak nelayan dan masyarakat pesisir yang bergantung pada laut untuk kehidupan mereka.
Ketidakpastian Hukum di Laut
Pagar laut sepanjang 30 kilometer yang dilaporkan nelayan di Kabupaten Tangerang merupakan contoh nyata dari kekacauan ini. Struktur misterius yang terbuat dari bambu dengan ketinggian hingga 6 meter tidak hanya menghalangi jalur pelayaran nelayan, tetapi juga menimbulkan spekulasi tentang keterkaitannya dengan proyek reklamasi. Namun, baik pemerintah pusat maupun daerah tampaknya tak mampu menjelaskan asal-usul pagar tersebut.
Ketika Nusron menyatakan bahwa pihaknya “tidak bisa berbuat apa-apa karena itu berada di laut,” hal ini menunjukkan adanya jurang koordinasi antarlembaga negara. Dalam hierarki regulasi Indonesia, wilayah laut di bawah 12 mil laut dari garis pantai merupakan kewenangan pemerintah daerah, sedangkan wilayah yang lebih jauh menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Namun, pernyataan seperti ini menunjukkan bahwa tumpang tindih regulasi dan lemahnya penegakan hukum masih menjadi hambatan besar.
Dampak pada Nelayan dan Lingkungan
Keberadaan pagar laut ini telah melumpuhkan aktivitas nelayan tradisional. Mereka tidak hanya kehilangan akses untuk melaut tetapi juga menghadapi ketidakpastian nasib akibat lemahnya perlindungan terhadap hak-hak mereka. Laut, yang seharusnya menjadi ruang publik untuk kesejahteraan bersama, justru menjadi arena konflik kepentingan yang merugikan masyarakat kecil.
Selain itu, keberadaan pagar yang dikaitkan dengan proyek reklamasi juga mengancam ekosistem laut. Reklamasi yang kerap dilakukan tanpa studi lingkungan yang memadai berdampak pada rusaknya habitat laut, termasuk terumbu karang dan mangrove. Padahal, ekosistem ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan keberlanjutan perikanan.
Laut sebagai Rezim Kepentingan
Ketidakjelasan tanggung jawab dalam kasus ini juga menunjukkan bagaimana laut telah menjadi “rezim kepentingan” yang lebih mengutamakan aktor-aktor besar, seperti korporasi atau pengembang, daripada masyarakat pesisir. Pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang mengatakan “enggak ada hubungan pagar dengan Proyek Strategis Nasional (PSN)” justru memperkuat persepsi publik bahwa pemerintah cenderung mengabaikan isu-isu yang tidak bersifat politis atau ekonomis strategis.
Jika pagar tersebut memang terkait dengan reklamasi, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk membuka data dan fakta kepada publik. Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci untuk memastikan bahwa kebijakan dan proyek pembangunan tidak merugikan masyarakat kecil, terutama nelayan tradisional.
Arah Kebijakan yang Diperlukan
Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mereformasi tata kelola laut secara menyeluruh. Pertama, diperlukan kejelasan regulasi dan pembagian tugas antara Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pemerintah daerah. Kedua, pemerintah harus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut, termasuk terhadap aktivitas ilegal seperti reklamasi tanpa izin.
Selain itu, hak-hak masyarakat pesisir, termasuk nelayan, harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan terkait wilayah laut. Pemerintah harus memastikan bahwa akses ke laut tetap terbuka untuk mereka yang hidup bergantung pada sumber daya laut.
Kesimpulan
Kasus pagar laut misterius di Kabupaten Tangerang adalah gambaran nyata dari kegagalan tata kelola laut di Indonesia. Ketidakjelasan tanggung jawab antarlembaga negara, lemahnya penegakan hukum, serta dominasi kepentingan korporasi atas kepentingan masyarakat kecil menunjukkan perlunya reformasi besar-besaran.
Laut Indonesia bukan hanya milik negara, melainkan milik rakyat. Jika pemerintah terus gagal melindungi hak-hak masyarakat pesisir dan mengelola laut secara bijak, maka pertanyaan “Laut Indonesia Milik Siapa?” akan terus menjadi misteri yang tak terjawab.