Jakarta- Isu pemagaran laut di Indonesia baru-baru ini menyeruak ke permukaan, mencerminkan kekacauan koordinasi di tubuh pemerintahan dan penegakan hukum. Presiden menyerukan pengusutan masalah ini, tetapi respons para pemangku kepentingan menunjukkan kegagapan yang menggambarkan betapa rapuhnya sistem pemerintahan kita dalam menyikapi persoalan lintas sektor. Alih-alih memberikan solusi tegas, masing-masing lembaga seperti berjalan sendiri-sendiri, saling melempar tanggung jawab, dan terkesan abai terhadap keresahan publik.
Pemagaran Laut: Isu yang Mengusik Kedaulatan
Pemagaran laut, yang seharusnya menjadi simbol kedaulatan wilayah dan pengelolaan sumber daya maritim, kini berubah menjadi persoalan pelik. Sejumlah pihak mempertanyakan motif di balik tindakan ini—apakah murni untuk menjaga keamanan atau ada kepentingan tersembunyi yang menggerogoti kedaulatan negara? Presiden Prabowo telah meminta masalah ini diusut tuntas, tetapi hingga kini, belum ada langkah konkret yang menunjukkan arah penyelesaian.
Polri, sebagai ujung tombak penegakan hukum, menyatakan belum melihat adanya unsur pidana. Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah tidak adanya unsur pidana mencerminkan lemahnya regulasi, ataukah memang ada keengganan untuk menyentuh pihak-pihak tertentu yang diduga terlibat? Di sisi lain, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) dengan enteng menyatakan bahwa ini bukan urusannya, seolah-olah menegaskan bahwa laut adalah entitas yang berada di luar ranah koordinasi pemerintah.
Kegagalan Koordinasi Antar-Lembaga
Situasi ini semakin kompleks karena para menteri terkait lebih memilih diam daripada memberikan klarifikasi. Diamnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuat publik bertanya-tanya: apakah diam mereka mencerminkan ketidakmampuan atau ada upaya untuk menutupi sesuatu? Dalam sistem pemerintahan yang ideal, koordinasi antar-lembaga menjadi kunci untuk menangani persoalan lintas sektor. Namun, dalam kasus ini, ketidakhadiran sikap tegas dari kementerian terkait justru mempertegas kecurigaan bahwa ada yang tidak beres.
Negara dalam Negara: Fenomena Berulang
Fenomena “negara dalam negara” seperti ini bukan hal baru di Indonesia. Setiap kali ada kasus besar yang melibatkan sektor strategis, selalu muncul kesan bahwa ada kekuatan tertentu yang bermain di balik layar. Pemagaran laut bukan hanya soal teknis; ini adalah soal kedaulatan, transparansi, dan akuntabilitas. Ketika lembaga negara tidak mampu bekerja secara harmonis, ruang kosong itu justru diisi oleh aktor-aktor yang mungkin memiliki agenda terselubung.
Hal ini mencerminkan bagaimana demokrasi yang kita bangun dengan susah payah masih menghadapi tantangan serius dalam hal pengelolaan tata kelola pemerintahan. Jika lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru terkesan abai, maka siapa yang sebenarnya mereka wakili?
Perlu Tindakan Tegas
Menjawab kekacauan ini, diperlukan langkah tegas dan terpadu. Presiden harus memastikan bahwa seruannya untuk mengusut masalah ini bukan sekadar retorika belaka. Penegakan hukum harus berjalan tanpa pandang bulu, meskipun itu menyasar pihak-pihak yang memiliki pengaruh besar. Selain itu, perlu ada audit menyeluruh terhadap regulasi dan mekanisme pengawasan laut di Indonesia. Regulasi yang lemah hanya akan menjadi celah bagi oknum untuk melakukan penyimpangan.
Publik juga harus terus bersuara, memastikan bahwa isu ini tidak menghilang dari radar perhatian. Persoalan pemagaran laut adalah cerminan dari masalah yang lebih besar: lemahnya tata kelola, kurangnya koordinasi, dan ketidakjelasan arah kebijakan. Selama masalah ini tidak ditangani dengan serius, kedaulatan dan hak-hak rakyat akan terus terancam oleh kekuatan-kekuatan yang tidak terlihat namun nyata keberadaannya.
Kesimpulan
Pemagaran laut bukan sekadar isu teknis. Ini adalah potret buram tata kelola negara yang belum sepenuhnya bebas dari cengkraman “negara dalam negara.” Koordinasi yang lemah, pernyataan yang kontradiktif, dan sikap diam para pemangku kepentingan semakin menegaskan betapa rapuhnya komitmen pemerintah terhadap transparansi dan akuntabilitas. Dalam situasi ini, rakyat hanya bisa berharap bahwa seruan Presiden untuk mengusut masalah ini bukanlah sekadar angin lalu. Jika tidak, bangsa ini akan terus digerogoti oleh kekuatan-kekuatan yang seolah berada di atas hukum.