Laut adalah cermin diam dari dosa manusia. Ia tak menuntut, tak membalas, hanya menyerap. Seperti hati dalam tubuh, laut menerima apa pun yang dialirkan ke dalamnya—limbah, racun, emisi. Tapi seperti hati pula, laut punya batas. Dan kini, ia tengah sekarat.
Kita sering memuja laut dari permukaannya saja. Birunya langit yang menyentuh cakrawala, desir ombak yang menenangkan jiwa. Padahal, di kedalamannya, laut sedang bergulat menahan amarah dunia. Para ilmuwan menyebutnya oceanic burden—beban berlapis-lapis yang ditumpuk manusia dari darat ke laut: karbon, plastik, logam berat, pestisida, hingga mikroba patogen hasil tumpahan limbah rumah sakit dan peternakan.
Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2023, lautan telah menyerap lebih dari 90% panas berlebih akibat perubahan iklim dan sekitar 25-30% emisi karbon dioksida (CO₂) yang kita hasilkan sejak era industri. Tanpa laut, suhu bumi saat ini bisa naik dua kali lipat lebih cepat. Tetapi, dalam keheningannya, laut sedang menjerit. Penyerapan karbon menyebabkan asamifikasi laut—penurunan pH laut yang telah jatuh dari 8,2 ke 8,1 dalam 200 tahun terakhir. Terlihat kecil, tapi bagi plankton, terumbu karang, dan makhluk laut bersel cangkang, itu adalah neraka.
Tak hanya karbon. Setiap tetes hujan yang jatuh di kota membawa serta partikel polutan dari knalpot kendaraan, limbah industri, hingga pestisida dari ladang. Semuanya mengalir melalui sungai dan bermuara di laut. Laut adalah hilir dari kesalahan kolektif umat manusia. Menurut UNEP (2021), lebih dari 80% polusi laut berasal dari aktivitas darat, dan Indonesia adalah penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, membuang sekitar 3,2 juta ton sampah plastik ke laut setiap tahunnya, dari mana 1,29 juta ton berakhir sebagai mikroplastik.
Sayangnya, tak cukup sampai di situ. Laut juga kini jadi objek eksploitasi resmi lewat kebijakan yang ironis: penambangan dan ekspor pasir laut. Pemerintah Indonesia kembali membuka keran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dalihnya: untuk mengendalikan sedimentasi. Faktanya: memberi karpet merah pada pengerukan pasir besar-besaran demi keuntungan jangka pendek.
Padahal, studi oleh Center for International Forestry Research (CIFOR, 2020) menunjukkan bahwa penambangan pasir laut mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir, abrasi pantai, serta kehancuran terumbu karang dan habitat ikan demersal. Di Kepulauan Riau, aktivitas ini telah menyebabkan hilangnya pulau-pulau kecil, menurunnya populasi ikan, serta rusaknya mata pencaharian nelayan lokal. Laut, yang semestinya kita rawat, justru ditukar dengan kontrak ekspor yang mengeruk isi perutnya.
Bayangkan hati yang setiap hari menerima dosis racun dan ditusuk dari luar. Lama-lama, hati itu bukan lagi pemroses, tapi penyimpan racun. Dalam bahasa medis, itu disebut gagal hati. Dalam ekologi, kita menyebutnya kolaps ekosistem.
Kita seakan lupa, laut bukan hanya lanskap untuk wisata atau sumber makanan. Laut adalah penopang kehidupan. Sekitar 50-80% oksigen di bumi dihasilkan oleh fitoplankton di laut, bukan pohon. Laut juga menyerap panas, mengatur cuaca, menjadi jalur perdagangan, dan menopang ekonomi miliaran manusia. Jika laut kolaps, kita kolaps. Titik.
Dalam bahasa sederhana, jika laut adalah hati, maka kita adalah otak yang tak bijak. Kita terus-menerus mengabaikan sinyal rasa sakit yang dikirimkannya—pemutihan karang, badai tropis yang kian intens, hilangnya spesies laut, atau meningkatnya kasus keracunan merkuri di ikan konsumsi.
Tapi tidak semua sudah terlambat. Seperti tubuh yang bisa pulih jika berhenti menyakiti diri, laut pun bisa pulih. Itu jika kita cukup sadar, cukup cepat, dan cukup serius. Mengurangi emisi karbon, membersihkan aliran sungai, menghentikan ekspor pasir laut, hingga menegakkan hukum terhadap pencemar bukanlah pilihan—melainkan keharusan.
Sebab laut tak akan pernah meminta balas budi. Ia hanya ingin satu hal: berhenti disakiti. Dan kalau kita belum bisa mencintai laut, setidaknya jangan membunuhnya pelan-pelan.