Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024

Jakarta, Fusilatnews – Pepatah asing, “no lunch free” (tak ada makan siang gratis) kini terpatahkan sudah. Pemerintahan sekarang (Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin) maupun pemerintahan yang akan datang (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka) sudah sepakat untuk mengalokasikan anggaran sebesar Rp71 triliun untuk program makan siang gratis, yang kemudian berubah menjadi makan bergizi gratis, tahun 2025. Sebanyak 70,5 juta anak Indonesia bakal menjadi penerima makan bergizi gratis ini.
Kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Senin (24/6/2024), anggaran makan bergizi gratis sebesar Rp71 triliun itu tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2025 yang akan segera diajukan ke DPR RI. Untuk tahap pertama, sasaran program ini adalah anak-anak sekolah, terutama di daerah-daerah yang sangat membutuhkan di seluruh Indonesia.
Seirama dengan itu, sepenggal lirik lagu “Madu dan Racun” yang pernah dipopulerkan penyanyi Arie Wibowo tahun 1980-an pun kini seakan terngiang kembali di telinga.
Madu di tangan kananmu
Racun di tangan kirimu
Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku
Demikianlah! Program makan bergizi gratis dalam pandangan saya mengandung “madu” dan “racun”.
Mengapa mengandung “madu”?
Pertama, karena presiden dan wakil presiden terpilih di Pilpres 2024, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka merealisasikan janji kampanye mereka, meskipun nominal anggarannya masih jauh dari yang dijanjikan, yakni Rp450 triliun per tahun.
Angka Rp71 triliun ini setara dengan 2% dari total belanja negara yang ditaksir mencapai Rp3.500 triliun di RAPBN 2025 dengan proyeksi defisit sebesar 2,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, masih dalam batas aman.
Kedua, banyak anak-anak sekolah, terutama di daerah-daerah terpencil di Tanah Air yang membutuhkan asupan makanan bergizi yang tidak mampu disediakan oleh keluarganya.
Jika program ini dimaksudkan untuk mencegah “stunting” (anak gagal tumbuh kembang), saya rasa terlambat, karena pencegahan “stunting” harus sudah dimulai dari saat ibu hamil dengan memberinya asupan makanan bergizi. Namun demikian, program ini tetap bermanfaat, terutama untuk mengatasi kasus gizi buruk di Indonesia.
Apalagi, program makan bergizi gratis ini bukan hanya monopoli Indonesia. Sejumlah negara lain juga melaksanakannya. Data dari laporan World Food Program State of School Feeding Worldwide Tahun 2022 menunjukkan, 418 juta anak menerima manfaat makan siang gratis di sekolah seluruh dunia, melampaui tingkat cakupan sebelum pandemi Covid-19.
Ketiga, program makan bergizi gratis yang anggraannya mencapai Rp71 triliun ini akan menggerakkan perekonomian rakyat. Usaha kecil dan menengah (UKM) di daerah-daerah bahkan pelosok-pelosok kampung akan menggeliat. Dengan catatan pengelola program ini bekerja sama dengan UKM atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai “supplier” (penyedia) bahan makanan.
Lalu, mengapa program makan gratis bergizi ini mengandung “racun”?
Pertama, program ini dilaksanakan di tengah isu mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Simak saja beberapa waktu lalu viral soal perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia berlomba-lomba menaikkan uang kuliah tunggal (UKT) yang kemudian ditunda setelah mendapat protes dari berbagai pihak, termasuk Komisi X DPR RI.
Mengapa anggaran makan bergizi gratis ini tidak dialihkan saja untuk menambah anggaran pendidikan, misalnya, sehingga UKT tak perlu naik? Ada yang berasumsi kita lebih berorientasi kepada urusan perut daripada urusan otak.
Tidak itu saja. Program makan bergizi gratis ini juga dilaksanakan di tengah isu penolakan terhadap pungutan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kepada para pegawai dan buruh sebesar 3% dari gaji.
Kedua, sementara alokasi anggaran sudah disediakan, yakni Rp71 triliun, namun badan atau lembaga yang akan mengelola program makan bergizi gratis belum jelas apa. Apakah Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) atau kementerian lainnya?
Ataukah akan dikelola oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas), Perum Bulog, atau membentuk lembaga baru seperti Badan Gizi Nasional atau lainnya?
Kita tidak tahu pasti. Akhirnya, ibarat perabotan rumah tangga sudah siap dibeli, namun rumahnya belum jadi, bahkan belum dibangun.
Ketiga, sebagaimana penyaluran bantuan sosial (bansos), Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), penyaluran program makan bergizi gratis ini pun rawan salah sasaran.
Simak saja data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) di mana penyaluran bansos yang salah sasaran mencapai 46%. Bahkan ada pejabat eselon 1 di Kementerian PPN/Bappenas yang terdaftar sebagai penerima bansos.
Keempat, program makan bergizi gratis juga rawan korupsi sebagaimana program bansos. Alokasi anggaran Rp20.000 hingga Rp21.000 per anak bisa dikorupsi oleh pengelola dengan kongkalikong bersama penyedia, dengan cara mengurangi kualitas atau kuantitas makanan.
Kelima, karena makanan yang disediakan dalam program makan bergizi gratis ini makanan yang sudah masak atau matang, maka rawan basi. Jika memasak dan menyajikannya tidak tepat waktu maka bisa sia-sia karena makanan sudah terlanjur basi. Jika dipaksakan tetap diberikan kepada anak, akan berisiko terhadap kesehatan.
Kini, “madu” dan “racun” sudah terhidang di depan mata terkait program makan bergizi gratis. Agar “racun” bisa diminimalisasi maka ada sejumlah langkah yang patut dipertimbangkan.
Pertama, program makan bergizi gratis ini harus tepat sasaran, tepat tempat, tepat harga, tepat kuantitas dan tepat kualitas.
Kedua, semua transaksi terkait program ini dilakukan secara “cashless” atau non-tunai untuk meminimalisir penyimpangan dan juga supaya lebih mudah mengauditnya nanti.
Ataukah Anda punya saran lain? Silakan!